Bagikan:

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) merespons soal penerapan hukuman mati bagi Ferdy Sambo di kasus dugaan pembunuhan berencana Yosua alias Brigadir J yang terbentur KUHP baru karena akan berlaku pada 2026.

Masyarakat diminta tak berspekulasi dengan hal itu apalagi isu yang muncul soal penguluran waktu agar Ferdy Sambo dapat lepas dari vonis mati.

"Jadi tidak usah bicara mengenai spekulasi," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung Fadil Zumhana kepada wartawan, Kamis, 16 Februari.

Fadil pun menerangkan bila terpidana hukuman mati bisa melakukan berbagai upaya perlawanan hukum yang panjang, mulai dari banding hingga grasi. Sehingga, memang membutuhkan waktu yang panjang.

"Kita nih penegak hukum terikat pada hukum positif yang berlaku saat ini, majelis hakim telah memutus FS hukuman mati. Terdakwa punya hak untuk lakukan upaya hukum banding, kasasi, bahkan sampai peninjauan kembali, hingga grasi, ini kan upaya hukum yang disediakan Undang-Undang," ungkapnya.

Namun, untuk pengajuan banding atas vonis persidangan tingkat pertama, lanjut Fadil, dapat diajukan oleh terdakwa dengan rentang waktu 7 hari terhitung sejak pembacaan vonis.

"Rentang waktu itu diatur UU banding 7 hari untuk menyatakan sikap, lalu ada banding bila nggak puas juga, bisa kasasi nggak puas juga, bisa PK, dan bisa grasi, karena presiden bisa melakukan itu," kata Fadil.

Ferdy Sambo dijatuhi vonis mati dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Bekas Kadiv Propam itu terbukti bersalah.

Dalam putusannya, majelis hakim yakin Ferdy Sambo telah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP.

"Terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama," ujar Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa.