Diduga Gelapkan Ijazah, Kantor Hukum di Jaksel Dilaporkan Mantan Karyawannya
3 orang mantan karyawan kantor hukum di Jaksel laporkan pimpinannya/ Foto: IST

Bagikan:

JAKARTA - Kantor hukum di Jakarta Selatan dilaporkan tiga orang mantan karyawannya ke Polres Metro Jakarta Selatan terkait kasus dugaan penggelapan ijazah. Ketiga pelapor, yakni Yuma Karim, Ivan Lazuardi, dan Avelino Salvatore Flores menjelaskan bahwa kasus tersebut sebelumnya sudah pernah dilaporkan pada 2019 lalu di Polres Metro Jakarta Selatan dan kasusnya masih bergulir hingga saat ini.

Yuma Karim datang seorang diri ke Polres Metro Jakarta Selatan. Sedangkan Ivan dan Avelino didampingi oleh kuasa hukumnya

Kuasa hukum pelapor dari LBH Rumah Bantuan Hukum, Amsori menjelaskan alasannya kliennya mendatangi Polres Metro Jakarta Selatan. Tujuannya untuk memunuhi panggil terkait laporan yang dibuatnya

“Jadi agenda hari ini, kami ke penyidik dalam rangka tambahan berita acara pemeriksaan terkait beberapa saksi yang ini lama sekali dari tahun 2019,” kata Amsori kepada wartawan di Polres Metro Jakarta Selatan, Kamis, 9 Februari.

Ia menuturkan untun saat ini laporan yang diajukan Yuma Karim sudah naik ke tingkat penyidikan.

"Dua laporan lagi masih tahap penyelidikan,” ucapnya.

Dalam kesempatannya, Ia menjelaskan dasar permasalahan dari laporannya yakni terkait, terlapor menahan ijazah karyawan yang sudah mengundurkan diri dari perusahaan. Akibatnya, korban mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan di perusahaan lain.

"Oleh karena itu mengakibatkan klien kami saat ini dirugikan dalam hal mencari lapangan pekerjaan sehingga beberapa kantor perusahaan menanyakan ijazahnya ditahan sampai saat ini," ungkap Amsori.

Sementara itu, pelapor bernama Yuma Karim membeberkan sejumlah dugaan pelanggaran ketenagakerjaan yang dilakukan kantor hukum tersebut.

Ia menyebut para karyawan disuruh bekerja melebih batas waktu yang telah ditentukan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

"Jadi begini, terlapor kami duga budaya kerjanya itu adalah jam kerjanya itu di atas rata-rata, di luar perjanjian. Kemudian kita semua disuruh, dilarang pulang sesuai perjanjian, kita harus bekerja lebih daripada jam kerja, bahkan di hari libur," ungkap Yuma.

"Kemudian belum tentu dapat upah lembur. Kalaupun dapat upah lembur itu benar-benar jauh di bawah hukum, seperti itu. Oleh karena itu, itu kan secara nggak langsung kan bentuk eksploitasi ya," tambahnya.

Bahkan, sambung Yuma, beberapa karyawan malah disomasi dan dilaporkan ke polisi dengan tuduhan yang mengada-ada.

"Ada juga korban yang malah dilaporkan polisi, malah di somasi ke orangtuanya," kata dia.

Pelapor lainnya, Ivan Lazuardi, mengatakan bahwa terlapor meminta biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah agar korban dapat menebus ijazahnya yang ditahan.

"Umumnya memang kalau mengacu pada UU Tenaga kerja dimana di dalam perjanjian kerja itu ada PKWT. Katakan kita bekerja satu tahun, apabila kita wanprestasi selama tiga bulan kita membayar 9 bulan dengan satu bulan upah lembur. (Diminta) dari puluhan sampai ratusan juta yang saya tahu," ungkap Ivan.

Di sisi lain, Amsori mengimbau para mantan karyawan yang juga mengalami nasib serupa untuk tidak ragu melapor.