JAKARTA - Terdakwa Arif Rachman Arifin menyebut hanya merupakan manusia biasa dan bawahan yang memiliki rasa takut kepada atasan.
Pernyataan tersebut disampaikan eks Wakaden B Ropaminal Divpropam Polri saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di kasus dugaan perintangan penyidikan atau obstruction of justice tewasnya Yosua alias Brigadir J.
Awalnya, Arif berbicara soal berbagai praduga yang muncul tentangnya. Banyak persepsi seharusnya sebagai polisi bisa membedakan hal uang benar dan salah.
"Sebagai lulusan akademi kepolisian yang berpangkat AKBP dengan pengalaman di berbagai bidang seakan menjadi suatu nilai kepastian dengan predikat predikat demikian pasti memiliki kemampuan menolak perintah atasan," ucap Arif dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat 3 Februari.
Padahal, yang sebenarnya terjadi Arif tak bisa berbuat banyak. Sebab, pemberi perintah merupakan jenderal bintang dua yang secara kepangkatan lebih tinggi daripada dirinya.
Terlebih, institusi Polri menganut budaya rantai komando. Sehingga, Arif saat itu hanya bisa diam dan mengikuti perintah dari Ferdy Sambo.
"Budaya organisasi dimanapun berada sangat bedampak sehingga sangat renta terhadap penyalagunaan keadaan karena adanya relasi kuasa," sebutnya.
Di sisi lain, Arif juga menyebut walau memiliki pangkat sebagai perwira menegah (pamen) Polri dengan berbagi pengalaman, ia tetap seorang bawahan.
Rasa takut terhadap atasan pun pasti dimilikinya sebagai manusia biasa.
"Saya meskipun dengan predikat sedemikian rupa, hanyalah bawahan yang merupakan manusia biasa. Bawahan yang dalam relasi kuasa berada di bawah kendali atasan dan manusia biasa yang memiliki takut," kata Arif.
Arif Rachman Arifin merupakan salah satu terdakwa kasus obstruction of justice. Ia dianggap terbukti terlibat karena menghancurkan laptop yang berisi salinan rekaman CCTV detik-detik tewasnya Brigadir J.
BACA JUGA:
Dia dianggap melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sehingga, Arif dituntut dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda Rp10 juta.