JAKARTA - Amerika Serikat dan sekutunya memberlakukan sanksi baru terhadap Myanmar pada Hari Selasa, menandai peringatan dua tahun kudeta dengan mengekang pejabat energi dan anggota junta militer.
Washington menjatuhkan sanksi antara lain kepada Komisi Pemilihan Persatuan, perusahaan pertambangan dan pejabat energi.
Ini menandai pertama kalinya Amerika Serikat menargetkan pejabat Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar (MOGE) di bawah program sanksi Myanmar saat ini, kata juru bicara Departemen Keuangan, melansir Reuters 1 Februari.
Kanada, Australia, dan Inggris juga mengumumkan sanksi.
Para jenderal top Myanmar memimpin kudeta pada Februari 2021 setelah lima tahun pembagian kekuasaan yang tegang di bawah sistem politik semi-sipil yang diciptakan oleh militer, yang menyebabkan satu dekade reformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Negeri Seribu Pagoda berada dalam kekacauan sejak itu, dengan gerakan perlawanan melawan militer di berbagai bidang setelah penumpasan berdarah terhadap lawan yang membuat sanksi Barat diberlakukan kembali.
Langkah AS Hari Selasa menargetkan direktur pelaksana dan wakil direktur pelaksana MOGE, yang merupakan badan usaha milik negara penghasil pendapatan terbesar junta, menurut Departemen Keuangan.
Pendukung hak asasi manusia telah menyerukan sanksi terhadap MOGE, tetapi Washington sejauh ini menahan diri untuk menetapkannya.
Juga menjadi target Washington adalah Menteri Persatuan Energi, yang menurut Departemen Keuangan mewakili pemerintah Myanmar dalam keterlibatan sektor energi internasional dan domestik, mengelola entitas milik negara yang terlibat dalam produksi dan ekspor minyak dan gas.
Mining Enterprise No 1 dan Mining Enterprise No 2, keduanya BUMN, serta Komisi Pemilihan Umum, juga terkena sanksi oleh Washington.
Selain itu, Washington juga menargetkan mantan dan pejabat militer Myanmar saat ini, kata Departemen Keuangan, menuduh Angkatan Udara terus melancarkan serangan udara menggunakan pesawat buatan Rusia terhadap pasukan pro-demokrasi yang telah membunuh warga sipil.
Terpisah, Kanada menargetkan enam orang dan melarang ekspor, penjualan, pasokan, atau pengiriman bahan bakar penerbangan dalam aksinya pada Hari Selasa. Sementara, Australia menargetkan anggota junta dan perusahaan yang dikelola militer.
Sedangkan Britania Raya menargetkan dua perusahaan dan dua individu yang membantu memasok angkatan udara Myanmar, dengan bahan bakar penerbangan yang digunakan untuk melakukan kampanye pengeboman terhadap warganya sendiri.
John Sifton, direktur advokasi Asia untuk Human Rights Watch mengatakan, sanksi Hari Selasa Amerika Serikat masih belum dapat menandingi sanksi yang lebih kuat yang dijatuhkan oleh Uni Eropa, terutama dalam hal pendapatan gas alam dan bank yang memproses pembayaran luar negeri.
"Akibatnya, langkah-langkah yang diambil sejauh ini belum cukup membebani junta militer untuk memaksanya mengubah perilakunya," kata Sifton dalam pernyataan email.
"Sanksi hari ini, meski langkah maju, tidak mungkin mengubah kenyataan ini. Secara khusus, dalam kasus pendapatan gas alam Myanmar yang menguntungkan, AS harus menyerang pembayaran yang sebenarnya dilakukan, tidak hanya memberi sanksi kepada segelintir pejabat konglomerat," tandasnya.
Diketahui, militer telah berjanji untuk mengadakan pemilihan pada Agustus tahun ini. Pada Hari Jumat, junta mengumumkan syarat-syarat yang berat bagi partai-partai untuk bersaing dalam pemilihan, termasuk peningkatan besar-besaran dalam keanggotaan mereka, sebuah langkah yang dapat mengesampingkan lawan-lawan militer dan memperkokoh cengkeramannya pada kekuasaan.
BACA JUGA:
Aturan tersebut menguntungkan Union Solidarity and Development Party (USDP), wakil militer yang berisi mantan jenderal, yang dikalahkan oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi pada pemilu 2015 dan 2020.
NLD dihancurkan oleh kudeta, dengan ribuan anggotanya ditangkap atau dipenjara, termasuk Suu Kyi, dan banyak lagi yang bersembunyi.
NLD pada November menggambarkan pemilihan tahun ini sebagai "palsu" dan mengatakan tidak akan mengakuinya. Pemilihan itu juga dianggap sebagai kepura-puraan oleh pemerintah Barat.