Bagikan:

MALANG - Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (Tatak) menolak menghadiri persidangan tragedi yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia karena dinilai tidak memenuhi sejumlah tuntutan para korban.

Ketua Tatak Imam Hidayat di Kota Malang, Jawa Timur, Senin, mengatakan ada sejumlah hal yang menjadi catatan mengapa tim advokasi menolak hadir di persidangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Surabaya tersebut.

"Mengenai persidangan perdana model A di Pengadilan Negeri Surabaya, kita sejak awal sudah menolak laporannya, kemudian kita juga menolak proses persidangan," kata Imam dilansir ANTARA, Senin, 16 Januari.

Imam menjelaskan pihak kepolisian sebelumnya telah melakukan komunikasi dengan tim terkait pelaksanaan sidang tersebut. Kepolisian telah menyampaikan undangan kepada Tim Tatak untuk hadir di persidangan tersebut.

Namun, lanjutnya, Tim Tatak menolak hadir pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Surabaya. Akan tetapi, jika dalam persidangan tersebut membutuhkan kesaksian dari keluarga korban yang diwakili oleh Tim Tatak, maka para saksi tersebut akan hadir.

"Prinsipnya menolak, tapi apabila nanti Devi Athok (salah satu keluarga korban) dipanggil sebagai saksi, maka kami akan mendampingi dan menghadiri persidangan tersebut," ujarnya.

Ada sejumlah hal yang membuat Tim Tatak menolak hadir termasuk proses persidangan Tragedi Kanjuruhan tersebut. Sejumlah alasan itu antara lain adalah berkaitan dengan pengenaan pasal kepada para terdakwa.

Imam menjelaskan, sejumlah terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan tersebut dikenakan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang mati dan Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat dinilai tidak tepat.

Menurutnya, pasal yang seharusnya dikenakan terhadap para terdakwa tersebut adalah Pasal 338 dan 340 KUHP tentang pembunuhan dan pembunuhan berencana terkait peristiwa yang terjadi di Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022.

Alasan lain Tatak yang mewakili sejumlah korban Tragedi Kanjuruhan tersebut menolak proses persidangan adalah para terdakwa yang saat ini menjalani proses hukum, belum termasuk aktor intelektual dan eksekutor penembak gas air mata.

"Kami menolak karena terdakwa masih dari tingkatan menengah, aktor intelektual belum tersentuh, termasuk eksekutor yang menembak gas air mata ke tribun," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, proses persidangan Tragedi Kanjuruhan seharusnya bersifat terbuka, namun diputuskan untuk dilakukan dengan pola terbuka terbatas. Hal itu, menurutnya, berarti hanya pihak-pihak tertentu yang diperbolehkan menghadiri persidangan.

"Jika terkait alasan keamanan, saya kira itu tidak bisa diterima. Petugas mempunyai kemampuan untuk mengendalikan massa," ujarnya.

Pada Senin (16/1), sidang perdana kasus Tragedi Kanjuruhan yang menyebabkan 135 orang meninggal dunia pascapertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya digelar di Pengadilan Negeri Surabaya.

Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan terhadap lima orang terdakwa yakni Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, Petugas Keamanan Kanjuruhan Suko Sutrisno dan Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur nonaktif AKP Hasdarman.

Kemudian, Kabag Ops Polres Malang nonaktif Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan Kasat Samapta Polres Malang nonaktif AKP Bambang Sidik Achmadi.