Bagikan:

JAKARTA - Rumah sakit dan rumah duka China berada di bawah tekanan kuat pada Hari Rabu, karena gelombang COVID-19 yang melonjak menguras sumber daya, sementara skala wabah dan keraguan atas data resmi mendorong beberapa negara untuk mempertimbangkan aturan perjalanan baru terhadap pengunjung dari China.

Dalam perubahan kebijakan yang tiba-tiba, China bulan ini mulai membongkar rezim COVID yang paling ketat di dunia dengan melakukan lockdown dan pengujian ekstensif, menempatkan ekonominya yang terpukul di jalur untuk dibuka kembali sepenuhnya tahun depan.

Pencabutan pembatasan, yang terjadi setelah protes meluas terhadapnya, berarti COVID-19 menyebar sebagian besar tanpa terkendali dan kemungkinan menginfeksi jutaan orang setiap hari, menurut beberapa pakar kesehatan internasional.

Kecepatan China, negara besar terakhir di dunia yang memperlakukan virus sebagai endemik, telah membatalkan aturan COVID telah membuat sistem kesehatannya yang rapuh kewalahan.

China melaporkan tiga kematian baru terkait COVID pada Hari Selasa, naik dari satu kematian pada Hari Senin, angka yang tidak konsisten dengan apa yang dilaporkan rumah duka, serta dengan pengalaman negara-negara yang jauh lebih sedikit penduduknya setelah pembukaan kembali.

Staf di Huaxi, sebuah rumah sakit besar di barat daya kota Chengdu, mengatakan mereka "sangat sibuk" dengan pasien COVID.

"Saya telah melakukan pekerjaan ini selama 30 tahun dan ini adalah pekerjaan tersibuk yang pernah saya ketahui," kata seorang sopir ambulans di luar rumah sakit yang menolak disebutkan namanya, melansir Reuters 28 Desember.

Ada antrian panjang di dalam dan di luar bagian gawat darurat rumah sakit dan di klinik demam yang berdekatan pada Selasa malam. Sebagian besar dari mereka yang tiba dengan ambulans diberi oksigen untuk membantu pernapasan mereka.

"Hampir semua pasien mengidap COVID," kata salah satu staf farmasi departemen gawat darurat.

Rumah sakit tidak memiliki stok obat khusus COVID dan hanya dapat menyediakan obat untuk gejala seperti batuk, katanya.

Sementara itu, tempat parkir di sekitar rumah duka Dongjiao, salah satu yang terbesar di Chengdu, penuh. Prosesi pemakaman berlangsung konstan saat asap mengepul dari krematorium.

"Sekarang kami harus melakukan ini sekitar 200 kali sehari," kata seorang petugas pemakaman.

"Kami sangat sibuk, kami bahkan tidak punya waktu untuk makan. Ini telah terjadi sejak pembukaan. Sebelumnya sekitar 30-50 sehari," sambungnya.

"Banyak yang meninggal karena COVID," kata pekerja lainnya.

Sementara di krematorium Chengdu lainnya, Nanling, yang merupakan milik swasta, para staf sama sibuknya.

"Ada begitu banyak kematian akibat COVID akhir-akhir ini," kata seorang pekerja.

"Slot kremasi semuanya sudah penuh dipesan. Anda tidak bisa mendapatkannya sampai tahun baru."

Diketahui, China mengatakan hanya menghitung kematian pasien COVID yang disebabkan oleh pneumonia dan gagal napas sebagai terkait COVID.

Zhang Yuhua, seorang pejabat di Rumah Sakit Chaoyang Beijing, mengatakan sebagian besar pasien baru-baru ini adalah orang lanjut usia dan sakit kritis dengan penyakit bawaan (komorbid). Dia mengatakan jumlah pasien yang menerima perawatan darurat meningkat menjadi 450-550 per hari, dari sekitar 100 sebelumnya, menurut media pemerintah.

Klinik demam Rumah Sakit Persahabatan China-Jepang di Beijing juga "dipenuhi" dengan pasien lanjut usia, lapor media pemerintah.

Perawat dan dokter diminta untuk bekerja sementara pekerja medis yang sakit dan pensiunan di komunitas pedesaan dipekerjakan kembali untuk membantu. Beberapa kota telah berjuang dengan kekurangan obat.

Terpisah, ebagai langkah besar menuju perjalanan yang lebih bebas, China akan berhenti mewajibkan pelancong masuk untuk melakukan karantina mulai 8 Januari, kata pihak berwenang minggu ini.