Bagikan:

JAKARTA - Paus Fransiskus mengatakan dunia sedang menderita kelaparan perdamaian dalam pidato Natalnya, yang dikenal sebagai berkat Urbi et Orbi dan pesan kepausannya.

Dia berbicara dari balkon tengah Basilika Santo Petrus, tempat yang sama di mana dia pertama kali muncul sebagai Paus ketika terpilih pada 13 Maret 2013.

Menyerukan diakhirinya perang di Ukraina, di mana 10 bulan kekerasan telah menyebabkan krisis energi dan inflasi pangan global, serta mengakibatkan sedikitnya 200.000 korban militer saja, Paus Fransiskus menggambarkan konflik itu sebagai “tidak masuk akal”.

"Semoga Tuhan mengilhami kita untuk menawarkan gerakan solidaritas yang nyata, guna membantu semua orang yang menderita, dan semoga dia mencerahkan pikiran mereka yang memiliki kekuatan untuk membungkam gemuruh senjata dan segera mengakhiri perang yang tidak masuk akal ini," ujar Paus Fransiskus melansir The National News 25 Desember.

Dalam kesempatan tersebut, Paus juga menekankan penting bagi orang-orang untuk mengingat banyak konflik lain di seluruh dunia, merenungkan dalam doa mereka penderitaan orang-orang di Iran, Suriah, Sahel dan Haiti.

Dia mendesak dialog lebih lanjut antara Israel dan Palestina, di tengah tahun terburuk untuk kekerasan sejak 2015 dalam konflik selama puluhan tahun.

"Mari kita lihat wajah semua anak yang, di mana pun di dunia ini, merindukan perdamaian," serunya.

Pada Malam Natal, Paus Francis juga menyerukan diakhirinya kekerasan di dunia, menyoroti bagaimana keserakahan dan nafsu akan kekuasaan menjadi kekuatan pendorong dalam perang yang tidak perlu.

"Seperti biasa, korban utama dari keserakahan manusia ini adalah yang lemah dan rentan," katanya, mencela "dunia yang rakus akan uang, kekuasaan dan kesenangan."

Terkait dengan tema ini, Paus Fransiskus mengatakan dalam pidato Natalnya, terlalu banyak keserakahan dan pemborosan sementara banyak yang kelaparan.

"Pada hari ini, saat kita duduk mengelilingi meja yang terbentang dengan baik, semoga kita tidak mengalihkan pandangan kita dari Bethlehem, sebuah kota yang namanya berarti 'rumah roti', tetapi memikirkan semua itu, terutama anak-anak, yang kelaparan saat makan besar. Jumlah makanan setiap hari terbuang sia-sia dan sumber daya dihabiskan untuk senjata," papar Paus.

"Perang di Ukraina semakin memperparah situasi ini, membuat seluruh rakyat terancam kelaparan, terutama di Afghanistan dan di negara-negara Tanduk Afrika," tandasnya.

Diketahui, invasi Rusia pada 24 Februari ke Ukraina mengirimkan gelombang kejutan melalui pasar makanan global. Gabungan kedua negara menyumbang sekitar 20 persen dari ekspor gandum global.

Perang juga menyebabkan lonjakan harga energi di tengah sanksi AS dan Eropa terhadap industri minyak dan gas Rusia.