Bagikan:

JAKARTA - Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak menilai revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) perlu memperhatikan keseimbangan dan saling kontrol atau checks and balances.

"Selain pengawasan eksternal oleh Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional), misalnya di tingkat penyidikan, revisi KUHAP juga berkaitan dengan checks and balances," kata Barita Simanjuntak dalam webinar 'Penyiksaan dalam Praktik Pidana Mati di Indonesia: Satu Terlalu Banyak' yang digagas Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) di Jakarta, Jumat 16 Desember.

Barita mengatakan dalam sistem peradilan pidana Indonesia di bagian hulu terdapat penyidikan dan penuntutan. Sehingga, fungsi penyidikan bisa bekerja dan dilakukan oleh supervisi penuntutan.

Apabila hal tersebut terlaksana, lanjutnya, maka kasus dugaan pembunuhan berencana yang melibatkan mantan kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdy Sambo tidak akan berlarut hingga berbulan-bulan.

Dalam kasus itu, menurut dia, Komisi Kejaksaan tidak bisa berbuat banyak karena faktor lemahnya sistem KUHAP yang mengunci peran jaksa, yakni hanya ketika berkas perkara surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) diberikan.

Barita menyinggung banyaknya masalah penegakan hukum yang terjadi, khususnya di tingkat penyidikan (polisi). Hal itu juga tidak lepas dari penelitian yang dilakukan ICJR. Ia mengaku sependapat dengan pandangan yang diutarakan Anggota Komisi III DPR RI Asrul Sani yakni mendorong penguatan pengawasan di tataran penyidikan.

"Memang penguatan pengawasan ini menjadi penting," tambahnya.

Sementara itu, Asrul Sani mengatakan sistem peradilan pidana di Indonesia, yang diatur dalam KUHAP, harus diubah. Arsul melihat tidak adversarial murni; sehingga ketika pemeriksaan di pengadilan dilakukan, maka hakim yang menanyai saksi dan terdakwa.

"Jadi, yang saya rasakan ini sudah ada under pressure, baik kepada saksi, jaksa, maupun pada advokat," ujar Arsul Sani.