Kaleidoskop 2021: Benarkah Kinerja DPR Lamban dan Hanya jadi 'Tukang Stempel' Pemerintah?
Gedung MPR (Irvan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menilai kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI lamban terhadap Rancangan Undang-Undang kepentingan publik. Seperti pada pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan RUU Penanggulangan Bencana.

Formappi mencatat, capaian 8 RUU prioritas dari 37 RUU dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 membuktikan ketidakpedulian DPR pada publik.

 

Peneliti Formappi Lucius Karus menilai, kinerja DPR selama 2021 juga terkesan tumpul dan lagi-lagi hanya menjadi 'stempel' pemerintah. Hal itu terbaca dari kemudahan DPR menyetujui regulasi seperti Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan APBN dan pertanggungjawaban APBN.

"Kendali Pemerintah itu dilakukan melalui parpol-parpol koalisi yang selanjutnya menjadi acuan fraksi-fraksi di parlemen," ujar Lucius dalam keterangannya, Selasa, 28 Desember. 

Predikat 'stempel' pemerintah, lanjut Lucius, kian menguat lantaran DPR tak pernah menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah secara optimal. Terutama pengawasan terhadap APBN yang rentan korupsi.

 

Dikatakan Lucius, DPR tidak pernah menggunakan interpelasi, angket, dan hak menyatakan pendapat mereka.

"Kritikan yang muncul sesekali lebih banyak disuarakan melalui media sosial dan media massa ketimbang di ruang rapat. Sehingga tak memberikan pengaruh pada perubahan kebijakan pemerintah," katanya.

Disisi lain, kata Lucius, munculnya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menunjukan kelemahan kualitas legislasi DPR. Hal itu, kata dia, juga menjadi catatan penting bagi kinerja DPR dalam mengesahkan produk UU. 

 

Selama 2021, DPR juga memiliki banyak persoalan internal. Misalnya, keinginan para anggota parlemen mendapatkan plat kendaraan khusus dan tempat isolasi mandiri di hotel. Serta pembentukan panitia khusus RUU IKN yang sempat mengabaikan tata tertib DPR.

"Kekuasaan DPR yang begitu besar menjadi tak berarti ketika hanya diabadikan untuk kepentingan mereka sendiri dan elit di partai politik," demikian Lucius.

 

Berikut rangkuman sejumlah peristiwa di DPR RI yang mendapatkan perhatian publik di tahun 2021:

1. Persetujuan calon Kapolri

Tensi pemberitaan di DPR pada awal tahun 2021 ditandai dengan pergantian Kapolri. Masyarakat bahkan di kalangan anggota DPR masing-masing memiliki prediksi siapa yang akan ditunjuk Presiden Joko Widodo. 

Spekulasi soal calon Kapolri yang akan menggantikan Jenderal Pol Idham Azis akhirnya terjawab setelah DPR RI menerima Surat Presiden tentang nama calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), yakni Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo.

Surpres bernomor: R-02/Pres/01/2021 tersebut disampaikan Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu, 13 Januari. 

 

Badan Musyawarah (Bamus) lantas menugaskan Komisi III DPR melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri. Komisi III DPR menjadwalkan uji kelayakan pada Selasa, 19 Januari.

Dalam uji kelayakan Listyo Sigit memaparkan delapan komitmen yang akan dijalankannya apabila dirinya menjadi Kapolri, salah satunya menjadikan Polri sebagai institusi yang “Presisi”. Dia juga menekankan bahwa penegakan hukum yang dilakukan Polri harus tegas namun humanis sehingga tidak boleh lagi ada adigium hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.

Setelah uji kelayakan, Komisi III DPR RI menyetujui penunjukan Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri, setelah mendengarkan pendapat fraksi-fraksi dalam rapat internal Komisi III DPR pada Rabu, 20 Januari, siang.

Seluruh fraksi menyatakan setuju pengangkatan Listyo Sigit sebagai Kapolri. Ada tiga fraksi yang memberikan catatan yaitu Fraksi PAN, Fraksi PKS, dan Fraksi Partai Demokrat.

Keputusan Komisi III DPR RI tersebut kemudian disetujui dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 21 Januari. Selanjutnya, Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar pada Jumat, 22 Januari, menyerahkan surat persetujuan pemberhentian dengan hormat Jenderal Polisi Idham Azis dan persetujuan pengangkatan Komjen Polisi Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri, kepada Mensesneg Pratikno.

 

 

2. Gagalnya Revisi UU Pemilu 

 

Terdapat pro dan kontra isu dalam Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. RUU tersebut merupakan usulan Komisi II DPR RI yang di dalamnya mengatur tentang Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif (DPD, DPR, DPRD kabupaten/kota, provinsi), dan Pilkada.

Dalam UU nomor 6 tahun 2020 tentang Pilkada diatur menggelar pilkada pada tahun 2024 dan akan dinormalkan menjadi pada 2022 dalam RUU Pemilu. Hal itu karena telah melaksanakan pilkada pada 2017, demikian pula daerah yang pilkadanya 2018 akan melaksanakan pilkada lagi pada 2023.

 

Beberapa poin revisi yang juga menjadi perdebatan mulai dari normalisasi pelaksanaan pilkada menjadi tahun 2022 hingga larangan mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ikut pemilu.

Selain itu, ada sejumlah alasan DPR ingin menormalkan kembali jadwal pilkada, antara lain melihat pengalaman penyelenggaraan Pemilu dan Pileg 2019 yang mengakibatkan banyak korban dari kalangan penyelenggara pemilu.

Sementara fraksi-fraksi yang menolak revisi UU Pemilu karena menilai UU nomor 7/2017 tentang Pemilu dan UU nomor 6/2020 tentang Pilkada masih sangat relevan dijadikan dasar untuk melaksanakan pilpres, pileg, dan pilkada ke depan.

Di awal proses revisi UU Pemilu yang dilaksanakan di Baleg DPR untuk dilakukan harmonisasi, beberapa fraksi mendukung adanya revisi tersebut. Namun dalam perkembangannya sikap fraksi tersebut berubah, yaitu menolak dilakukannya revisi UU Pemilu.

Pada akhirnya Komisi II DPR sepakat tidak melanjutkan pembahasan revisi UU Pemilu setelah dilakukan rapat dengan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi). Dan RUU Pemilu juga dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

 

3. Revisi UU Otsus Papua Disetujui

 

Pemerintah mengajukan usulan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan ditindaklanjuti DPR dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) pada Rabu, 10 Februari. Ada tiga usulan pemerintah dalam revisi UU Otsus yaitu Pasal 1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 34 tentang dana otsus, dan Pasal 76 tentang pemekaran daerah.

Akhirnya unsur Pimpinan Pansus revisi UU Otsus Papua disepakati pada Selasa, 30 Maret, yang terdiri dari Ketua Pansus Otsus Papua Komarudin Watubun (F-PDI Perjuangan) dengan didampingi tiga Wakil Ketua yaitu Agung Widyantoro (F-Partai Golkar), Yan Mandenas (F-Gerindra), dan Marthen Douw (F-PKB).

Pansus menginginkan agar revisi UU Otsus tidak hanya mengubah tiga poin seperti yang diusulkan pemerintah yaitu ketentuan umum, penambahan anggaran dan kewenangan pemekaran wilayah agar kesejahteraan bagi Papua bisa terwujud.

RUU Otsus Papua terdiri dari 143 Daftar Inventarisir Masalah (DIM) dan dibahas secara rinci serta komprehensif di tingkat Panitia Kerja (Panja) dengan sistem klaster yaitu klaster substansi usulan pemerintah dan klaster substansi di luar usulan pemerintah.

Setelah Pansus menggelar rapat dengan pemerintah dan meminta masukan berbagai pihak, akhirnya Rapat Kerja Pansus revisi UU Otsus Papua pada Senin, 12 Juli, menyetujui revisi UU tersebut untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI untuk mendapatkan persetujuan Tingkat II.

Dengan proses panjang, Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis, 15 Juli, menyetujui untuk disahkannya RUU Otsus Papua menjadi undang-undang. Pada akhirnya, Pansus Otsus Papua menetapkan perubahan terhadap 19 pasal, terdiri dari tiga pasal usulan pemerintah dan 16 pasal di luar usulan pemerintah.

Salah satu poin RUU Otsus yang menjadi perhatian publik adalah Pasal 68 (a) yang mengatur keberadaan badan khusus untuk sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan otsus dan pembangunan di wilayah Papua. Pembentukan badan khusus tersebut sebagai upaya meningkatkan efektifitas pembangunan di Papua.

Badan khusus itu memiliki tugas utama adalah melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus dan pembangunan di wilayah Papua.

 

4. 40 RUU Prolegnas Prioritas 2022

 

Prolegnas Prioritas 2021 akhirnya dibahas kembali pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2020-2021, setelah dua masa sidang tidak berhasil disepakati. Di Masa Sidang III tersebut akhirnya ditetapkan 33 RUU masuk Prolegnas Prioritas 2021.

Sebelumnya, Rapat Kerja (Raker) Baleg DPR RI dengan pemerintah dan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI pada Senin, 19 Maret, menyepakati perubahan daftar rancangan undang-undang (RUU) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 dan Prolegnas 2020-2024.

Dalam Raker tersebut disepakati RUU tentang Pemilihan Umum ditarik dari daftar Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021 dan digantikan dengan RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diusulkan oleh Pemerintah. Sebanyak delapan fraksi menyatakan setuju RUU Pemilu ditarik dari daftar Prolegnas Prioritas 2021 dan hanya Fraksi Partai Demokrat yang meminta RUU tersebut tetap dibahas.

Sementara itu, perubahan Prolegnas Prioritas 2021 menyepakati ada 37 RUU dalam Prolegnas 2021, dengan tambahan tiga RUU usulan pemerintah dan satu usulan DPR RI dalam Prolegnas 2021. Ketiga RUU tersebut adalah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Satu RUU usulan DPR RI adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Kemudian, di Masa Sidang II Tahun Sidang 2021-2022, Baleg DPR bersama pemerintah dan DPD RI menyepakati sebanyak 40 RUU masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022, keputusan tersebut diambil dalam Raker Baleg pada Senin, 6 Desember. Raker tersebut memasukkan satu RUU ke dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka, yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dari 40 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022, hanya ada enam RUU baru, selebihnya merupakan peluncuran atau “carry over” dari Prolegnas Prioritas 2021. Keenam RUU baru tersebut terdiri dari empat RUU usul Baleg DPR yaitu RUU tentang Bahan Kimia, RUU tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Anggota DPR RI, RUU tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara, dan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Selain itu RUU dari usulan anggota DPR RI yaitu RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak, dan usulan pemerintah adalah RUU tentang Desain Industri (dalam Prolegnas 2020-2024, tertulis: RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri).

Salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022 adalah RUU tentang Perubahan Kedua UU nomor 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).

 

5. Calon Panglima TNI

 

Prediksi dan teka-teki calon Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto akhirnya terjawab setelah DPR menerima Surat Presiden (Surpres) mengenai usulan calon Panglima TNI atas nama Jenderal Andika Perkasa yang disampaikan Mensesneg Pratikno, Rabu, 3 November.

 

Di hari yang sama, Badan Musyawarah (Bamus ) DPR langsung menggelar rapat, memutuskan untuk menugaskan Komisi I DPR melaksanakan proses uji kelayakan calon Panglima TNI. Sehari setelahnya, Komisi I DPR melaksanakan rapat internal pada Kamis, 4 November, untuk menentukan proses dan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI. 

 

Dalam Rapat Internal Komisi I DPR RI diputuskan bahwa uji kelayakan calon Panglima TNI dilaksanakan pada Sabtu, 6 November, dan tahapan verifikasi administrasi pada Jumat, 5 November. Uji kelayakan tersebut berlangsung terbuka untuk pemaparan visi-misi sementara itu untuk pendalaman dan tanya jawab dilakukan secara tertutup. Jenderal Andika hanya diberikan waktu 30 menit untuk memaparkan visi-misi namun hanya digunakan lima menit yang digunakan.

Setelah uji kelayakan tersebut, Komisi I DPR memberikan persetujuan terhadap pengangkatan calon panglima TNI kepada Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai Panglima TNI. Komisi I DPR juga menyetujui pemberhentian dengan hormat kepada Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI serta memberikan apresiasi terhadap dedikasinya selama ini.

Selanjutnya, Komisi I DPR melaksanakan verifikasi faktual calon panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa dengan mengunjungi rumahnya di Jakarta Selatan, pada Minggu, 7 November.  Tujuan verifikasi faktual tersebut adalah silaturahim dengan keluarga, melihat keseharian calon panglima TNI, dan melihat rumah yang ditinggali sesuai Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).

Kemudian dalam Rapat Paripurna pada Senin, 8 November, DPR akhirnya menyetujui pengangkatan calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto.

6. RUU TPKS Disepakati tapi Belum Paripurna

 

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) merupakan satu dari 33 RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021. RUU tersebut sebetulnya sempat masuk dalam Prolegnas 2020, tetapi pemerintah dan DPR RI sepakat mengeluarkan RUU tersebut dalam daftar Prolegnas.

Sementara itu, RUU PKS yang masuk Prolegnas Prioritas 2021 merupakan usul Baleg DPR RI dengan draf dan materi yang berbeda dengan yang lalu.

Kemudian, Baleg DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahas materi RUU PKS sebelum dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi usul inisiatif DPR. Dalam perkembangannya, RUU PKS telah berubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang berstatus sebagai draf awal.

RUU TPKS terjadi beberapa perubahan redaksi dan materi sebagai bagian dari dialektika yang terjadi agar pembahasan RUU ini terus mengalami kemajuan. Panja RUU TPKS hanya memasukkan lima jenis kekerasan seksual tersebut adalah pelecehan seksual, pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, dan eksploitasi seksual.

Panja menilai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan pencegahan dan pelindungan serta memenuhi kebutuhan korban kekerasan seksual sehingga dibutuhkan RUU TPKS.

Akhirnya Rapat Pleno Baleg DPR pada Rabu, 8 Desember, menyetujui RUU TPKS menjadi usul inisiatif DPR RI. Dari sembilan fraksi yang telah menyampaikan pendapatnya, ada tujuh fraksi yang menyatakan setuju, satu fraksi meminta menunda, dan satu fraksi menolak. Fraksi Golkar meminta menunda karena masih perlu mendengar pendapat masyarakat dan Fraksi PKS menolak RUU TPKS.

Namun pada Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang DPR RI pada Kamis, 16 Desember, RUU TPKS tidak masuk dalam agenda pengambilan keputusan untuk menjadi usul inisiatif DPR RI.

Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan institusinya hanya ingin memutuskan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sesuai mekanisme yang ada sehingga pelaksanaannya nanti bisa berjalan dengan baik dan benar. Puan menjelaskan tidak ada masalah apapun terkait RUU TPKS sehingga akan diputuskan pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2021-2022 yang dimulai pada 11 Januari 2022.

Puan mengatakan, DPR RI ingin mengambil keputusan khususnya terkait RUU harus sesuai dengan mekanisme yang berlaku sehingga jangan sampai nanti ketika telah menjadi UU, dinilai melampaui mekanisme yang berlaku. Dia menegaskan bahwa Pimpinan DPR mendukung agar RUU TPKS segera diambil keputusan di Tingkat II yaitu melalui Rapat Paripurna untuk disetujui agar disahkan menjadi UU.

7. Pro Kontra RUU Cipta Kerja dan RUU IKN

 

Persoalan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai tidak aspiratif dan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang dinilai belum perlu, menjadi sorotan utama dalam “Kaleidoskop dan Evaluasi Akhir Tahun 2021” Fraksi PKS DPR RI. 

PKS menilai proses pembahasan hingga pengesahan RUU Ciptaker terlalu dipaksakan, akibatnya produk legislasi yang bernaung di bawah RUU Omnibus Law itu dinilai merugikan rakyat dan tidak mengakomodir mayoritas aspirasi rakyat.

PKS merasa dalam memutuskan satu pembuatan undang-undang, pihaknya kalah veto dan voting sehingga RUU Ciptaker tetap diundangkan meski terkesan tergesa-gesa tanpa memberi ruang untuk memberikan masukan dari para ahli.

Secara keseluruhan UU tersebut dirasa memang bermasalah dan merugikan kepentingan rakyat luas seperti buruh, petani, hingga nelayan.

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat atau inkonstitusional sepanjang tidak diperbaiki pembentuk undang-undang, dan diberi waktu 2 tahun untuk merevisi.

 

Sementara Baleg DPR RI berkomitmen memprioritaskan pembahasan revisi UU PPP dan UU Cipta Kerja, setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) bila tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun.

Selanjutnya soal pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). Langkah pemerintah itu dinilai belum perlu untuk saat ini lantaran masyarakat masih dihadapkan pada tekanan ekonomi akibat wabah COVID-19 belum reda.

Beberapa fraksi salah satunya PKS mendorong pemerintah agar sebaiknya fokus pada pembenahan ekonomi rakyat. Terlebih, saat ini sudah ada varian baru Omicron yang kian mewabah.

Ditambah lagi, jika salah satu alasan pemindahan ibu kota karena Jakarta banjir, baru-baru ini calon ibu kota juga banjir. Belum lagi soal anggaran yang akan digunakan yang disebut pemerintah tidak menggunakan APBN. Padahal, masih diragukan ada pihak lain termasuk swasta yang mau membiayai pemindahan ibu kota baru.