Bagikan:

JAKARTA - Turki tidak meminta izin untuk operasi keamanannya di Suriah, hanya berkoordinasi dengan sekutunya, kata Juru Bicara Kepresidenan Ibrahim Kalin pada Hari Minggu.

"Kami tidak akan meminta persetujuan siapa pun ketika menghadapi ancaman keamanan nasional," kata Kalin kepada penyiar Qatar Al-Jazeera dalam sebuah wawancara, seperti mengutip Daily Sabah 5 Desember.

"Terkait dengan situasi politik di Suriah, tentu saja tetap menjadi sumber ancaman dan ketidakpastian bagi semua orang, tidak hanya bagi kami, tetapi bagi Irak, bagi Yordania dan negara-negara lain juga (dan) Eropa dan lain-lain," sambungnya.

Pekan lalu, Kalin mengatakan operasi darat yang direncanakan Turki melawan kelompok teroris di Suriah utara dapat diluncurkan kapan saja, saat wawancara di televisi A Haber.

"Operasi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bisa besok, minggu depan atau kapan saja. Turki akan menentukan waktu, tempat dan ruang lingkupnya," terang Kalin.

militer turki
Ilustrasi militer Amerika Serikat dan Turki di Suriah. (Wikimedia Commons/Combined Joint Task Force Operation Inherent Resolve/Spc. Arnada Jones

Bulan lalu, Turki meluncurkan Operasi Claw-Sword di Irak utara dan Suriah, kampanye udara lintas batas melawan kelompok teroris PKK dan cabang Suriahnya, YPG, yang memiliki tempat persembunyian ilegal melintasi perbatasan Irak dan Suriah.

Operasi tersebut diluncurkan beberapa hari setelah PKK/YPG melakukan serangan bom di Jalan Istiklal yang populer di Istanbul, menewaskan enam orang dan melukai 81 lainnya.

Setelah operasi udara dimulai pada 20 November, Presiden Recep Tayyip Erdogan juga mengisyaratkan operasi darat yang akan datang di Irak utara dan Suriah utara untuk menghilangkan ancaman teroris, dengan menambahkan: "Ini tidak terbatas hanya pada operasi udara."

Presiden Erdogan menetapkan wilayah Tal Rifaat, Manbij dan Ain al-Arab (Kobani) yang dikendalikan YPG di Suriah utara, sebagai kemungkinan target untuk membersihkan teroris.

Kalın menjelaskan, tanggapan awal Turki setelah serangan itu "adalah mengoordinasikan dan melakukan beberapa operasi udara."

"Kami telah menetapkan dengan sangat jelas, YPG berada di balik serangan ini. Kami memiliki orang yang membawa bom dan melakukan serangan, tetapi juga orang yang memfasilitasi kedatangan orang itu – seorang wanita," terang Kalin.

militer sdf dan as
Militer AS dan SDF di Suriah. (Wikimedia Commons/Sgt. Torrance Saunders)

"Dalam beberapa tahun terakhir, PKK telah mengubah taktiknya. Alih-alih menggunakan Suriah, katakanlah Kurdi atau lainnya, mereka menggunakan orang lain dari berbagai negara. Untuk menutupi diri mereka sendiri," tandasnya.

Kalın juga menolak klaim serangan udara Turki telah membahayakan tentara AS, menegaskan kembali Ankara tidak menargetkan warga sipil atau tentara Amerika atau Rusia.

"Kami memiliki mekanisme de-konflik dengan Rusia dan Amerika. Kami tidak menargetkan tentara Rusia atau Amerika atau pos militer di Suriah atau di mana pun. Target kami adalah elemen PKK/YPG, dan kami memberitahu mereka untuk menjauh dari itu," paparnya.

“YPG pada satu titik menggunakan bendera Amerika, di titik lain bendera rezim (Suriah) untuk melindungi dirinya sendiri. Kadang-kadang mereka melakukan ini dengan Rusia, belum lama ini, tetapi di masa lalu. Bagi saya ini menunjukkan YPG adalah menggunakan aliansinya dengan AS untuk melegitimasi kehadirannya di Suriah utara," tambah Kalin.

Kalın juga menunjukkan, di bawah kesepakatan yang ditandatangani pada 2019, AS seharusnya membuat teroris YPG/PKK bergerak sejauh 30 kilometer (18 mil) dari perbatasan Turki. Tetapi, kesepakatan itu tidak pernah dilaksanakan.

Diketahui, PKK adalah organisasi yang dicap teroris di Amerika Serikat, Turki dan Uni Eropa, dan dukungan Washington untuk afiliasinya di Suriah telah menjadi tekanan besar pada hubungan bilateral dengan Ankara.

AS terutama bermitra dengan teroris PKK/YPG di timur laut Suriah dalam perjuangannya melawan kelompok teroris ISIS. Di sisi lain, Türkiye sangat menentang kehadiran PKK/YPG di Suriah utara.