JAKARTA - Kremlin mengutuk seruan Uni Eropa untuk mengadakan pengadilan kejahatan perang atas tindakan Rusia di Ukraina, mengatakan badan apa pun tidak sah dan tidak dapat diterima oleh Moskow.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan pada Hari Rabu, Uni Eropa akan mencoba membentuk pengadilan khusus, yang didukung oleh PBB, untuk menyelidiki dan mengadili kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan Rusia di Ukraina.
"Adapun upaya untuk membentuk semacam pengadilan: mereka tidak akan memiliki legitimasi, tidak akan diterima oleh kami dan kami akan mengutuk mereka," tegas Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov dalam konferensi pers dengan wartawan pada Hari Kamis, melansir Reuters 1 Desember.
Barat dan Ukraina telah menuduh berbagai tuduhan kejahatan perang terhadap Rusia selama perang sembilan bulan, termasuk di Kota Bucha yang diduduki pasukan Rusia selama sebulan setelah invasi 24 Februari dan ditinggalkan pada akhir Maret, setelah serangan yang gagal di Ukraina.
"Kami siap untuk mulai bekerja dengan komunitas internasional, untuk mendapatkan dukungan internasional seluas mungkin bagi pengadilan khusus ini," kata von der Leyen kemarin.
Kyiv sendiri telah mendorong pembentukan pengadilan khusus, untuk mengadili para pemimpin militer dan politik Rusia yang dianggap bertanggung jawab atas perang tersebut.
Terpisah, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang bermarkas di Den Haag, Belanda meluncurkan penyelidikannya sendiri atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, beberapa hari setelah invasi Moskow pada 24 Februari, tetapi tidak memiliki yurisdiksi untuk menuntut agresi di Ukraina.
"Sambil terus mendukung Pengadilan Kriminal Internasional, kami mengusulkan untuk membentuk pengadilan khusus, yang didukung oleh PBB, untuk menyelidiki dan menuntut kejahatan agresi Rusia," tukas von der Leyen.
BACA JUGA:
Adapun Rusia menyangkal menargetkan warga sipil atau telah melakukan kejahatan perang lainnya, menuduh pasukan Ukraina melanggar hukum internasional dan Konvensi Jenewa, selama melakukan apa yang disebut Moskow sebagai "operasi militer khusus".