Jaksa Agung Tak Menampik Ada Celah Penyalahgunaan <i>Restorative Justice</i> Demi <i>Cuan</i>
Jaksa Agung ST Burhanuddin. (Foto via Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengakui, ada celah untuk penyalahgunaan restorative justice. Untuk itu, dia memastikan adanya sistem pengawasan dalam penerapannya.

Sistem ini menjadi langkah Kejagung agar restorative justice tidak disalahgunakan oleh oknum jaksa nakal menjadi ladang cuan atau mencari keuntungan.

“Memang betul sekali, pada waktu saya mau tanda tangan perja ini, saya masih ragu karena kondisi jaksa pada waktu itu. Tapi dengan satu tekad saya ingin memperbaiki situasi ini,” kata Burhanuddin ditemui usai acara “Sound of Justice”, di Gedung Smesco, Jakarta Selatan.

Menurut Burhanuddin, ada celah untuk penyalahgunaan, karena perkara yang tadinya perlu diselesaikan di persidangan kemudian diputus jaksa melalui keadilan restoratif.

“Ini kalau bagi jaksa-jaksa nakal ini adalah harapan untuk berbuat tercela,” ujarnya, seperti dikutip dari Antara, Sabtu, 19 November.

Untuk mencegah hal itu, kata Burhanuddin, pihaknya melakukan pengawasan baik pengawasan oleh internal kejaksaan maupun melibatkan peran aktif masyarakat termasuk media.

“Kami mencoba membentuk tim pengawasannya selain fungsional yang ada di kami yaitu Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, kami juga ada Satgas 53,” katanya.

Satgas 53 ini, lanjut Burhanuddin, menjadi ujung tombak Kejaksaan RI untuk mengawasi jaksa-jaksa di daerah dan di seluruh Indonesia.

“Itu (Satgas 53) kami bentuk dalam rangka untuk mengawasi, jangan sampai terjadi, jangan sampai terjadi penyalahgunaan,” katanya pula.

Sejak Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 ditandatangani, Burhanuddin menyebutkan sudah ada lebih dari 2.000 kasus pidana yang diselesaikan lewat keadilan restoratif.

Burhanuddin menekankan, program restorative justice yang digaungkan pihaknya untuk membenahi ketimpangan dalam penegakan hukum yang harusnya bisa diselesaikan di luar pengadilan, bisa diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.

“Tujuan kami bukan untuk mengurangi isi lembaga pemasyarakatan, tetapi kami jawab kepada masyarakat bahwa hukum itu tidak tajam ke bawah tumpul ke atas,” ujarnya.

Pengawasan lainnya yang diharapkan datang dari media yang memberitakan tentang penyalahgunaan yang dilakukan oleh oknum-oknum jaksa di wilayah.

“Pengawasan utamanya adalah media. Media sangat membantu kami untuk melakukan pengawasan. Justru kami sangat terbantu sekali karena kami tidak bisa mengawasi yang begitu banyak seluruh Indonesia. Dengan adanya media yang menginformasikan kondisi daerah itu sangat membantu kami,” ungkap Burhanuddin.

Adanya celah cuan bagi oknum jaksa memanfaatkan program restorative justice ini disampaikan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur.

Dia menyampaikannya dalam diskusi bertajuk "Restorative Justice, wajah penegakan hukum yang humanis”

“Mudah-mudahan restorative justice diterapkan secara tepat, karena dikhawatirkan jika tidak hati-hati akan menimbulkan pertanyaan baru, dihentikan perkaranya, dimediasi, kalau tidak dikontrol dengan baik, dicuankan sama mereka. Ini jadi harus ada kontrol, regulasi yang baik, semangat yang baik harus dijaga,” kata Isnur.