Kasus Pengurungan Keponakan dengan Pelaku Bibi di Tebing Tinggi Sumut Naik Penyidikan
Petugas Polres Tebing Tinggi memeriksa rumah terlapor TS di lantai II yang memiliki rolling door terbuat dari besi. (ANTARA/HO)

Bagikan:

SUMUT - Polres Tebing Tinggi menaikan status kekerasan terhadap anak dengan pelaku TS (58) terhadap RMS (17) ke tingkat penyidikan.

"Polres Tebing Tinggi menggelar perkara kasus kekerasan terhadap anak ini, untuk dinaikkan ke tingkat penyidikan," kata Kasat Reskrim Polres Tebing Tinggi AKP Rudianto Silalahi dalam pernyataan tertulis, dikutip dari Antara, Kamis 3 November.

Ia menyebutkan, peristiwa kekerasan tersebut terjadi pada Januari 2018. Saat itu RMS yang merupakan warga Kota Sibolga, Sumatera Utara, ke rumah TS yang merupakan bibi atau maktua korban.

Ibunda RMS diketahui telah meninggal dunia dan ayah korban sudah menikah lagi. Sementara kediaman TS di Tebing Tinggi.

"Sesampainya korban di rumah TS, dan meminta agar menghubungi maktuanya di Bandar Khalipah, Kabupaten Deli Serdang. Namun terlapor mengatakan bahwa maktua di Bandar Khalipah tidak mau menampung korban," ucapnya.

Ia mengatakan, setelah itu TS menawarkan agar RMS tinggal di rumahnya.

Di rumah tersebut, kata Rudianto, biasanya korban bekerja mengepel, membersihkan barang dagangan, mengangkat barang, dan melayani pembeli di toko milik terlapor.

"Sementara pada Januari 2022, terlapor [TS] menuduh korban mengambil uangnya sebesar Rp300.000. Namun korban tidak mengakuinya, sehingga membuat terlapor marah dan menyuruh RMS naik ke lantai dua rumah TS dengan mengunci pintu 'rolling door' terbuat dari besi," katanya.

Rudianto menambahkan, ruangan tempat RMS dikurung tersebut terdiri atas dua kamar tidur, satu kamar mandi, sofa, televisi, jendela yang dilengkapi jerjak besi, dan pintu "rolling" besi pembatas ruangan tersebut.

Pada bulan Juli 2022, korban RMS sedang duduk di jendela dan berkomunikasi dengan petugas PJKA. Korban mengatakan banyak masalah. Sebulan kemudian menulis surat kepada petugas PJKA.

"Perbuatan kekerasan terhadap anak di bawah umur itu, melanggar Pasal 778 dan Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 01 Tahun 2016 tentang perubahan kedua UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU," kata Rudianto.