Bagikan:

JAKARTA - Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna mengaku tidak memiliki pengetahuan yang cukup bahwa penerimaan sejumlah uang kepala daerah dari pihak swasta dalam suatu proyek merupakan tindak korupsi.

Hal ini dikatakan Ajay setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka kasus suap terkait perizinan pembangunan Rumah Sakit Umum Kasih Bunda, sebelum dibawa ke rumah tahanan.

"Kejadiannya, teman-teman dari saya itu memenangkan tender pembangunan. Ini semata-mata ketidaktahuan saya. Betul, saya kurang baca," kata Ajay di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Sabtu, 28 November.

Ajay bilang, dirinya membantu subkontraktor memenangkan tender pembangunan Rumah Sakit Umum Kasih Bunda dengan imbalan berupa bagi hasil sebesar 10 persen.

Sebagai orang dengan latar belakang swasta, Ajay menganggap bahwa dirinya dibolehkan secara pribadi untuk menerima uang pembagian hasil tersebut, meskipun dirinya telah menjadi kepala daerah.

"Saya pikir tidak masuk pasal apa-apa, karena ini proyek swasta. Kan dulunya saya di swasta, wiraswasta. Ini bukan suap perizinan karena perizinan sudah selesai. Membagi hasil, iya, tapi ini bukan fee dari yang punya rumah sakit," ungkap Ajay.

Dalam kasus korupsi ini, Ajay meminta uang sebesar Rp3,2 miliar. Awalnya, Rumah Sakit Umum Kasih Bunda melakukan pembangunan penambahan gedung pada tahun 2019. Lalu, RS mengajukan permohonan revisi IMB kepada Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Cimahi.

"Untuk mengurus perijinan pembangunan tersebut, Hutama Yonathan selaku pemilik RSU Kasih Bunda bertemu dengan Wali Kota Cimahi di salah satu Restoran di Bandung," kata Ketua KPK Firli Bahuri.

Ajay meminta uang sebesar Rp3,2 miliar kepada Hutama dalam pertemuan tersebut. "Uang sejumlah Rp3,2 miliar adalah 10 persen dari nilai rencana anggaran belanja pembangunan RS senilai Rp32 miliar," ucap dia.

Kata Firli, penyerahan uang disepakati akan diserahkan secara bertahap oleh Chyntia selaku staf keuangan RSU Kasih Bunda melalui Yanti selaku orang kepercayaan Ajay.

Pemberian telah dilakukan sejak tanggal 6 Mei 2020. Pemberian terakhir pada tanggal 27 November 2020 sebesar Rp425 juta sebelum KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT).

"Pemberian kepada Ajay telah dilakukan sebanyak 5 kali di beberapa tempat hingga berjumlah sekitar Rp1,661 Miliar dari kesepakatan Rp3,2 Miliar," tutur Firli.

Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan dan sebelum batas waktu 24 jam sebagaimana diatur dalam KUHAP, dilanjutkan dengan gelar perkara, KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait perizinan di Kota Cimahi Tahun Anggaran 2018-2020.

Pada kegiatan tangkap tangan sejak Jumat, 27 November, KPK telah mengamankan 11 orang di beberapa tempat, yaitu Bandung dan Cimahi (Jawa Barat).

Kesebelas orang tersebut yakni Ajay, Hutama, Chyntia, Yanti, Farid selaku ajudan Ajay, Endi selaku sopir Yanti, Kamaludin selaku sopir Chyntia, Dominikus selaku pihak swasta, Nungingsih selaku direktur RS, Hella selaku Kepala Dinas PTSP, dan Aam selaku pegawai Dinas PTSP.

Saat ini, Ajay dan Hutama ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Sementara, sembilan orang lainnya yang ikut ditangkap untuk kebutuhan pemeriksaan telah dipulangkan.

Ajay dan Hutama dilakukan penahanan Rutan selama 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 28 November 2020 sampai dengan 17 Desember 2020. Penahanan Ajay di rumah tahanan negara pada Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat dan Hutama di Polda Metro Jaya.