Bagikan:

JAKARTA – Upaya mengatasi kemiskinan di kalangan petani, Sekretaris Komisi II Bidang Perekonomian DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) Haerul Warisin meminta pemerintah provinsi setempat memberikan subsidi kepada para petani.

"Sebenarnya saya tidak setuju kalau sektor pertanian disebut mendominasi kemiskinan ekstrem di NTB. Kalau menyebut oknum buruh tani dan buruh kebun masuk akal. Karena mereka mungkin tidak punya lahan. Karena mereka itu kan sebagai buruh tani dan buruh kebun yang tidak bisa mendapatkan upah maksimal akibat komoditas hasil pertanian ini tidak bisa mencapai harga bagus sesuai harapan petani, terganjal harga pupuk dan pestisida tinggi," ujar Haerul, melansir Antara, Sabtu, 23 Juli.

Ia mengatakan, persoalan petani selama ini kurangnya produksi komoditas akibat biaya produksi terlalu tinggi, di mana harga pupuk dan pestisida tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah, sehingga membuat petani berat menanggungnya selama produksi.

"Mestinya Pemerintah Provinsi NTB memberikan petani subsidi pupuk dan pestisida agar produksi petani meningkat, dengan demikian buruh tani dan buruh kebun itu bisa diberikan upah lebih tinggi. Kan sektor pertanian tidak perlu lagi disebut mendominasi kemiskinan," ujarnya pula.

Dia menegaskan, petani sebagai pemilik sawah tidak bisa dikatakan miskin, karena mereka ini mempunyai lahan yang dikelola.

"Jika pemerintah sudah mengetahui sektor pertanian mendominasi kemiskinan ekstrem. Mestinya harus peduli terhadap petani dengan memberikan subsidi pupuk dan pestisida, bukan terkesan menekan harga tinggi, jangan hanya memperhatikan infrastruktur saja lah," katanya lagi.

Selain memberikan solusi subsidi pupuk dan pestisida. Pemerintah Provinsi NTB juga harus memfasilitasi petani menjual hasil produksi, bukan terhadap jagung dan bawang saja.

"Kalau jagung, tidak perlu Gubernur susah meminta naikkan harga beli jagung ke pemerintah pusat, karena jagung saat ini sedang dibutuhkan karena banyaknya pabrik pakan ternak, tentu harga pasti mengikuti. Yang perlu dilakukan, carikan pangsa pasar dan harga komoditas lain juga supaya petani tidak miskin," ujarnya.

Haerul Warisin juga menyinggung komoditas gabah dan beras petani yang tidak diakomodir.

"Jangan imporlah, dari pada impor dengan harga tinggi lebih baik berdayakan hasil petani lokal, tentu membantu menurunkan angka kemiskinan itu. Begitu halnya ketika ada program pembagian bantuan PKH di dalamnya ada beras dan lain-lain," ujarnya.

Menurut dia, mestinya pemerintah daerah membeli beras hasil produksi petani yang sudah dibeli dan distok oleh Bulog ini, karena kalau terus disimpan Bulog, ratusan ribu ton itu bisa berkutu. Hanya saja pemerintah tidak bisa berdayakan itu.

Menurut Haerul Warisin lagi, saat ini Bulog bukan lagi difungsikan sebagai lembaga BUMN yang menstabilkan harga beras, tapi terkesan diswastakan.

"Masak impor beras, padahal di NTB misalnya surplus gabah dan beras, tinggal beli hasil petani," ujarnya pula.

Iron sapaan akrabnya, berharap Pemerintah Provinsi NTB bisa menekan angka kemiskinan itu, dengan cara berdayakan BUMD untuk membeli hasil produksi petani, bekerjasama dengan Bulog.

"Kalau ini bisa dilakukan, tidak akan ada petani mengeluh, kemiskinan bisa berkurang," katanya lagi.