Respons Komisi Kesehatan dan Hukum soal MK Tolak Ganja untuk Medis
Ilustrasi/Foto: Antara

Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan ganja medis tetap tidak boleh digunakan untuk alasan kesehatan. Hal itu dinyatakan MK dalam putusan perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020. 

MK menolak uji formil Undang-Undang Narkotika tentang pasal-pasal larangan penggunaan narkotika golongan I. Dengan demikian, ketentuan pasal pasal 6 ayat (1) dan pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tidak berubah. Narkotika golongan-termasuk ganja medis-tidak diperbolehkan dikonsumsi meskipun untuk alasan medis.

"Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum. mengadili, satu, menyatakan permohonan pemohon V dan VI tidak dapat diterima. Dua, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman pada persidangan virtual, Rabu, 20 Juli. 

Menanggapi putusan MK, Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan menilai semua pihak harus menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terkait penggunaan ganja medis untuk kesehatan. 

Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo, mengatakan Indonesia merupakan negara hukum yang taat pada Undang Undang dan konstitusi.

“Ketika MK sudah memutuskan menolak secara keseluruhan, tentu harus kita hormati bersama. Itu sudah menjadi sebuah keputusan. Artinya, ganja memang tidak diizinkan termasuk untuk keperluan medis,” ujar Rahmad kepada wartawan, Kamis, 21 Juli.

Politikus PDIP itu mengatakan, keputusan MK tersebut menguatkan bahwa UU Narkotika melarang penggunaan ganja. Sekalipun untuk kepentingan kesehatan. 

"Ganja sama sekali tidak diizinkan, berdasarkan amanah rakyat amanat undang-undang narkotika memang tidak diijinkan,” kata Rahmad.

Namun, Rahmad menilai, penggunaan ganja masih bisa untuk penelitian secara tertutup. "Namun masih dimungkinkan untuk sebuah penelitian atau kepentingan ilmiah, penggunaannya memang harus tertutup," imbuhnya. 

Oleh karena itu, Rahmad mempersilakan jika persoalan penggunaan ganja medis tetap didiskusikan publik. Tentunya dengan masukan dan informasi para ahli. 

“Silahkan saja, secara keilmuan silahkan aja sebuah diskusi mengundang para ahli mengundang para ahli kesehatan lainnya. Namun, tetap diingat bahwa penggunaan ganja medis tidak diizinkan sampai saat ini. Sekali lagi kita harus hormati bersama-sama,” kata Rahmad.

Sementara, Komisi III DPR yang membidangi hukum akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi UU tentang Narkotika terkait pemanfaatan ganja untuk medis.

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari menilai pemerintah dan DPR wajib menindaklanjuti putusan tersebut karena menyatakan materi yang diujikan merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. 

"Pemerintah dan DPR wajib menindaklanjuti pertimbangan putusan MK tersebut dengan menjadikan materi tentang pemanfaatan ganja sebagai layanan kesehatan atau terapi dalam pembahasan revisi UU Narkotika yang sedang berlangsung," ujar Taufik kepada wartawan, Kamis, 21 Juli. 

Taufik mengatakan, dalam putusan itu MK telah menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti putusan a quo berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I. Karena itu menurutnya, untuk mendukung pembahasan tersebut maka pemerintah perlu segera melakukan pengkajian dan penelitian.

"MK memberikan penekanan pada kata segera dalam putusannya dengan memberikan huruf tebal menunjukkan urgensi terhadap hasil pengkajian ini," kata politikus NasDem itu.

Taufik menyarankan agar pemerintah merujuk pada kajian yang telah ada di tingkat internasional. Termasuk kajian dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) yang pada tahun 2019 merekomendasikan kepada the Commission on Narcotics Drugs (CND) yang dibentuk UN Ecosoc dan WHO.

"Untuk menjadikan cannabis atau ganja sebagai golongan narkotika yang dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan dengan mengubah Convention on Narcotics Drugs tahun 1961 dan telah disetujui melalui mekanisme voting di CND. Dengan demikian, kajian dapat dilakukan dengan segera sesuai penegasan putusan MK," jelasnya.

Berkaitan dengan pembahasan materi pada revisi UU Narkotika, tambah Taufik, merujuk pada pertimbangan hukum putusan MK maka dapat dilakukan pengaturan yang komprehensif. Dikatakannya, pelarangan, pengendalian dan pemanfaatan narkotika jenis tertentu untuk kepentingan medis dapat dimuat normanya dalam UU. 

"Sementara ketentuan teknis lainnya dapat diatur dalam aturan turunannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berjalan," kata pria yang akrab disapa Taubas itu.

"Dengan begitu, maka beberapa narkotika yang memiliki sifat ketergantungan tinggi tetap bisa dikontrol dengan ketat sembari dimanfaatkan untuk pelayanan Kesehatan dengan mekanisme yang ketat pula," sambung Taubas.