Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pengurus partai politik dimasukkan ke dalam klasifikasi penyelenggara negara. Penyebabnya, banyak dari mereka yang tak bisa diproses saat menerima uang dari pelaku korupsi.

"Pengurus parpol itu kategorinya itu tidak masuk berdasarkan undang-undang ya, undang-undang tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi. (Mereka, red) itu tidak masuk sebagai penyelenggara negara," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Jumat, 21 Juli.

Publik, sambung Alexander, juga kerap menyoroti hal bebasnya para petinggi parpol. Sebab, para elite politik yang bukan penyelenggara negara itu seperti bebas melenggang dari hukuman meski menerima uang panas.

"Memang pertanyaan seperti itu yang disampaikan masyarakat pada umumnya, kalau begitu, kalau pengurus Partai menerima duit ya enak-enak saja kan gitu. Seolah-olah itu bebas dari ya hukum gitu kan," tegasnya.

Sehingga, KPK meminta agar kajian tentang pengurus partai dilakukan. Sebab, mereka harusnya bisa masuk sebagai penyelenggara negara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya jika menerima uang dari koruptor.

"Nah, mestinya sih ada perluasan pengertian penyelenggara negara. karena apa? karena kita melihat fungsi dan peran partai politik itu sangat strategis," ujar Alexander.

Para petinggi ini disebut Alexander bisa menentukan banyak hal, termasuk para wakil rakyat hingga kepala daerah bahkan presiden. Sehingga, mereka harusnya dapat diawasi dengan maksimal.

"Para pengurus partai itu mereka punya kewenangan untuk menentukan pejabat-pejabat publik tetapi di dalam undang-undang mereka tidak termasuk sebagai unsur penyelenggara negara," ujarnya.

"Ini kalau ada ahli mungkin perlu dikaji dari ahli tata negara atau administrasi negara apakah bisa itu pengurus partai itu dimasukkan Sebagai penyelenggara negara. Sehingga, ketika yang bersangkutan itu menerima sesuatu terkait dengan penetapan penentuan jabatan publik, nah, itu kena juga," pungkas Alexander.