Pimpinan Komisi VIII DPR: Pencabutan Izin Ponpes Shiddiqiyyah Jombang Sudah Tepat
Ace Hasan/Foto: Antara

Bagikan:

JAKARTA - Komisi VIII DPR RI menilai keputusan Kementerian Agama (Kemenag) mencabut izin operasional Pesantren Majma'al Bahrain Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur, imbas kasus dugaan pencabulan yang dilakukan Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi, sudah tepat. Sebab, pesantren tersebut sudah menghalang-halangi upaya aparat untuk menegakkan keadilan hukum.

"Seharusnya pihak pesantren jangan melindungi pihak yang jelas melakukan tindakan perundungan yang melanggar hukum," ujar Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily kepada wartawan, Jumat, 8 Juli. 

"Karena itu, jika ada pesantren yang bertindak melawan hukum ya harus diberikan sanksi. Pencabutan izin pesantren merupakan langkah yang tepat," lanjutnya.

Ketua DPP Golkar itu menilai, pihak ponpes seharusnya kooperatif terhadap upaya penegakan hukum, bukan malah sebaliknya. 

"Seharusnya pihak pesantren kooperatif terhadap upaya penegakan hukum. Kita harus menghormati hukum," kata Ace.

"Pesantren jangan dijadikan sebagai lembaga yang membela tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri," imbuhnya. 

Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag) mencabut izin operasional Pondok Pesantren Majma’al Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah atau yang lebih dikenal dengan Pondok Pesantren Shiddiqiyah di Jombang, Jawa Timur. 

Pencabutan operasional itu merupakan akibat dari pencabulan santriwati oleh Mochammad Subchi Azal Tsani alias Bechi yang merupakan putra dari pemimpin pesantren, yaitu Kiai Haji Muhammad Mukhtar Mukthi alias Kiai Tar.

"Sebagai regulator, Kemenag memiliki kuasa administratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang di dalamnya diduga melakukan pelanggaran hukum berat,” kata Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Waryono, dalam keterangan tertulis, Kamis, 7 Juli.

Pihak Pondok Pesantren Shiddiqiyah terus menghalangi aparat kepolisian untuk menangkap Bechi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Waryono mengatakan, tindakan pihak pesantren tersebut merupakan bentuk menghalang-halangi proses penegakan hukum. Nomor statistik dan tanda daftar pesantren pun telah dibekukan oleh Kementerian Agama.