Meski Ditolak Buruh dan Mahasiswa, Presiden Jokowi Tetap Teken UU Cipta Kerja 1.187 Halaman
Presiden Jokowi (Tangkapan layar Youtube Sekretariat Presiden)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi menandatangani Omnibus Law UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR pada 5 Oktober. Penandatangan perundangan ini dilaksanakan pada Senin, 2 November dan diundangkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020.

Salinan perundangan ini juga secara resmi diunggah pemerintah melalui situs jdih.setneg.go.id. Adapun jumlah halaman dalam UU Cipta Kerja tersebut berjumlah 1.187 halaman.

Dalam situs ini, tercatat sudah ada ratusan orang yang mengunduh perundangan yang beberapa waktu belakangan ini menimbulkan polemik hingga membuat terjadinya aksi demonstrasi di sejumlah wilayah termasuk di DKI Jakarta.

Diketahui, sejumlah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh buruh dan mahasiswa menolak pengesahan UU Cipta Kerja, memang terjadi sejak perundangan ini disahkan di Rapat Paripurna DPR pada beberapa waktu lalu. Bahkan, aksi unjuk rasa yang terjadi pada Kamis, 8 Oktober juga ricuh karena adanya massa perusuh yang masuk ke dalam kelompok mahasiswa yang saat itu turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka.

Kelompok buruh dan mahasiswa melakukan penolakan karena sejumlah hal. Selain dianggap merugikan pekerja dengan diaturnya klaster ketenagakerjaan dalam perundangan tersebut, UU Cipta Kerja selama ini disoroti karena dinilai dikerjakan secara terburu-buru dan tertutup pembahasannya meski hal ini dibantah secara kompak oleh pemerintah dan pihak legislatif.

Terbaru, buruh dari kelompok KSPI dan KSPSI baru saja mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka berniat untuk mengajukan gugatan uji materil terhadap perundangan tersebut. Namun, karena perundangan ini masih belum diundangkan oleh pemerintah pada Senin siang, 2 November tadi, maka, kunjungan mereka ke MK hanya sebatas menyampaikan pernyataan sikap.

Dalam pernyataan sikap tersebut, Presiden KSPI Said Iqbal meminta agar hakim MK dapat bersungguh-sungguh dalam memutus perkara UU Cipta Kerja ini tanpa memandang kepentingan apapun tanpa kepentingan negara.

Selain itu, Iqbal meminta Hakim MK agar tak cuma mempertimbangkan bukti materiel atau kata-kata yang tertuang dalam butir pasal UU Cipta Kerja tapi juga mempertimbangkan efek dalam pasal perundangan tersebut yang dianggap merugikan hak konstitusional buruh.

"Kerugian tersebut, misalnya soal pengaturan kontrak atau PKWT dan PKWTT. Dengan memandang pasal itu, memang terkesan tidak ada masalah yang ditangkap publik," ungkap Iqbal saat memberikan surat pernyataan ke MK, siang tadi.

"Tapi, kami minta pada hakim MK batasan waktu kontrak dan periode kontrak dihapuskan dalam UU Ciptaker. Sebab, implikasi kontitusional warga negara menjadi rugi karena dia tidak punya kesempatan untuk diangkat sebagai karyawan tetap akibat tidak ada batasan waktu kontrak," lanjut dia.

Begitu pula dengan UMSK yang dihilangkan. Undang-Undang Cipta Kerja mengamanatkan seolah-olah tetap ada upah minimum, yaitu UMP atau ada UMK bersyarat. Namun, Iqbal menyebut buruh tetap tidak menerima besaran upah disamaratakan satu provinsi.

"Apakah adil jika perusahaan sendal jepit nilai upah minumumnya sama dengan pabrik Toyota atau Freeport? Ini yang kami minta memutuskan dengan seadil-adilnya. 

Pasal bermasalah lain yang disinggung dalam pernyataan sikap untuk MK adalah masalah outsourcing, pengurangan pesangon, upah jam kerja, dan mengenai tenaga kerja asing.