JAKARTA - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tetap meneken Undang-Undang Cipta Kerja meski banyak penolakan dari buruh dan mahasiswa, dinilai sebagai wujud pemerintahan saat ini anti rakyat.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan UU Cipta Kerja ini akan berakibat penindasan terhadap buruh dan berpotensi merusak lingkungan atas nama investasi.
"Wujud nyata dari rezim hari ini adalah anti terhadap rakyat, di mana semakin memberikan ruang ekploitasi terhadap manusia dan sumber daya alam," kata Nining saat dihubungi VOI, Selasa, 3 November.
Dia selanjutnya mengajak kelompok buruh untuk tetap mendesak pembatalan perundangan ini. Dirinya bahkan menyebut, para buruh akan siap kembali turun ke jalan menyuarakan aspirasi pada 10 November mendatang.
Langkah ini, kata Nining, lebih dipilih daripada menempuh jalur hukum melalui Judicial Review (JR) di Mahkamah Konstitusi (MK). "Mari bersama-sama terus berjuang untuk mendesak pembatalan," tegasnya.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi menandatangani Omnibus Law UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR pada 5 Oktober. Penandatangan perundangan ini dilaksanakan pada Senin, 2 November dan diundangkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020.
Salinan perundangan ini juga secara resmi diunggah pemerintah melalui situs jdih.setneg.go.id. Adapun jumlah halaman dalam UU Cipta Kerja tersebut berjumlah 1.187 halaman.
Diketahui, sejumlah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh buruh dan mahasiswa menolak pengesahan UU Cipta Kerja, memang terjadi sejak perundangan ini disahkan di Rapat Paripurna DPR pada beberapa waktu lalu.
Bahkan, aksi unjuk rasa yang terjadi pada Kamis, 8 Oktober juga ricuh karena adanya massa perusuh yang masuk ke dalam kelompok mahasiswa yang saat itu turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Kelompok buruh dan mahasiswa melakukan penolakan karena sejumlah hal. Selain dianggap merugikan pekerja dengan diaturnya klaster ketenagakerjaan dalam perundangan tersebut, UU Cipta Kerja selama ini disoroti karena dinilai dikerjakan secara terburu-buru dan tertutup pembahasannya meski hal ini dibantah secara kompak oleh pemerintah dan pihak legislatif.
Selanjutnya, pemerintah akan menerbitkan 35 Peraturan Pemerintah (PP) dan lima Peraturan Presiden (Perpres) sebagai aturan turunan perundangan ini.