Bagikan:

JAKARTA - Pakar hukum narkotika Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Dr Slamet Pribadi, menilai, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berwenang mengeluarkan peraturan mengenai izin penggunaan ganja untuk keperluan medis.

"Yang memposisikan ganja sebagai golongan I itu menteri kesehatan. Berarti izin dari jajaran Kementerian Kesehatan," ujar Slamet saat dihubungi, Rabu 29 Juni.

Ahli yang pernah menjabat sebagai kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional itu menuturkan, Pasal 7 UU Nomor 35 2009 tentang Narkotika, memperbolehkan penggunaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan atas seizin atau rekomendasi dari pihak terkait khususnya Kemenkes dan Badan POM.

"Jadi, narkotika itu boleh digunakan, yang tidak boleh itu disalahgunakan. Khusus untuk ganja (pasal 7 dan 8 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika) kalau memang itu ada manfaat untuk kesehatan, silakan mengajukan izin. Kalau memang untuk medis," tuturnya.

Namun hingga saat ini, belum ada aturan detail mengenai perizinan ini dan dia mendorong Kemenkes mengeluarkan aturan terkait hal ini sehingga masyarakat yang membutuhkan bisa memahaminya.

"Saya belum lihat peraturan pelaksanannya yang mengatur bagaimana mengajukan izin soal ganja (untuk medis)," ujarnya.

Menurut dia, DPR dan MUI sebaiknya tidak terburu-buru mengambil keputusan atau mengeluarkan fatwa terkait legalisasi ganja. Kedua pihak ini perlu mempertimbangkan pendapat pihak-pihak yang meneliti dampak panjang penggunaan ganja.

"Saya berpendapat, bahaya ganja dipakai untuk berkepanjangan itu sangat bahaya. Kalau untuk medis, butuh resep dokter," tuturnya.

Menurut dia, penggunaan ganja berkepanjangan lalu mencapai ketergantungan bisa menyebabkan masalah seperti keterlambatan berpikir, mengambil keputusan, serta mengurangi sistem imun tubuh pengguna.

"Negara-negara yang sudah melegalkan ganja sudah pusing dengan banyak kecelakaan lalu-lintas, persoalan sosial. (Dampak ganja) positifnya ada, tetapi negatifnya lebih banyak," tutur dia.

Dalam kesempatan terpisah, Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional Bidang Farmasi, Mufti Djusnir menuturkan, pemanfaatan ganja untuk pengobatan harus berdasarkan pada bukti ilmiah alias evidence base.

Hal ini mengingat dampak buruk senyawa di dalam ganja yakni delta-9 tetrahydrocannabinol atau THC bagi tubuh, salah satunya menyebabkan pengapuran sel otak.

"Konsekuensinya, kalau seseorang yang kemampuan mengikat oksigen di otaknya sangat rendah, maka orang itu menjadi bodoh jadinya," kata Mufti.

Berdasarkan laporan Antara, studi dari para pakar terkait obat-obatan di Organisasi Kesehatan Dunia (ECDD WHO) pada 2020 menunjukkan cannabidiol (CBD) yakni senyawa dalam ganja bermanfaat untuk pengobatan epilepsi pada anak-anak.

Akan tetapi, tak semudah itu mendapatkan CBD dari tanaman ganja, dan dia mengatakan, rekayasa genetika dibutuhkan di sini.

"Kandungan ganja itu yang dominan THC. Kalau belum ada rekayasa genetika, kandungan THC mencapai 97 persen, CBD itu kandungannya 0,00 sekian (dua digit di belakang koma)," ujar dia.

Untuk pengobatan epilepsi sendiri, menurut dia, saat ini ada sekitar 10 jenis obat yang bisa dipilih pasien sehingga tak harus bergantung pada CBD.

Ia pun meminta pemerintah dan penentu kebijakan berhati-hati mengambil langkah terkait pemanfaatan ganja untuk medis.

Sebelumnya, isu mengenai pemanfaatan ganja untuk medis mengemuka seiring aksi seorang ibu yang meminta ganja medis untuk buah hatinya di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta beberapa waktu lalu. Aksi ini kemudian mendapatkan respon dan sejumlah pihak termasuk Kemenkes dan DPR.

Kemenkes masih mengkaji manfaat ganja untuk kepentingan medis di Indonesia. Sementara pihak Komisi III dan IX DPR berencana menindaklanjuti usulan penggunaan ganja untuk kebutuhan medis.