Penjelasan Ganja Medis dan Sikap IDI Terkait Polemik Legalitasnya
Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gajah Mada (Foto Ist)

Bagikan:

JAKARTA - Legalitas ganja medis tengah menjadi polemik. Pakar kesehatan dan juga pembuat kebijakan di Indonesia tengah membahas masalah ini.

Pro dan kontra bermunculan soal legalitas ganja untuk medis tersebut. Beberapa pihak menilai, banyak pemahaman yang kurang pas terkait dengan pengertian ganja medis.

Istilah ganja medis digunakan dalam banyak literatur ilmiah. Menurut situs healthdirect.gov.au, ganja medis adalah obat yang berasal dari ganja. Karena untuk keperluan obat, tentu harus memenuhi sifat sebagai obat yaitu senyawanya terstandar, terukur dosisnya dan digunakan sesuai indikasi dengan cara yang tepat.

Perlu diluruskan tentang ganja medis ini adalah bukan keseluruhan tanaman yang bisa digunakan untuk obat, tetapi komponen aktif tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi/terapi.

Guru Besar Fakultas Ilmu Farmasi Universitas Gajah Mada Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt mengatakan, ganja memiliki beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Komponen utama pada ganja adalah golongan cannabinoids.

Cannabinoids sendiri terdiri dari berbagai komponen, di mana yang utama adalah Tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat Psikoaktif, dan Cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat Psikoaktif.

Komponen THC menyebabkan efek-efek terhadap mental termasuk menyebabkan memabukkan dan ketergantungan. Sedangkan CBD memiliki efek farmakologi sebagai anti kejang. CBD bahkan sudah dikembangkan menjadi obat, dan sudah mendapat persetujuan oleh FDA, misalnya dengan nama Epidiolex, yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup.

"Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan. Meski demikian, untuk menyatakan obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya, dengan melakukan pemeriksaan yang akurat," kata Prof Zullies dalam rilis yang diterima VOI.

"Posisi ganja medis ini sebenarnya justru merupakan alternatif dari obat lain, jika memang tidak memberikan respon yang baik. Ganja medis baru bisa digunakan jika obat lain sudah tidak mempan, itupun dengan catatan bahwa ganja medis yang digunakan berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas," lanjutnya.

Sementara itu, Ketua Umum PB IDI, dr Adib Khumaidi, SpOT mengatakan, sejauh ini riset lebih lanjut masih dilakukan terkait ganja sebagai pengobatan. IDI mendorong adanya riset terlebih dahulu sebelum akhirnya digunakan dalam pelayanan medis.

Para pakar IDI yang dilibatkan dalam riset di Kementerian Kesehatan RI dan lembaga terkait lainnya masih terus mengumpulkan referensi ilmiah terkait ganja medis.

"Proses di internal sudah dilakukan oleh IDI dengan elaborasi dengan dasar ilmiah yang ada, tentunya riset dengan referensi ilmiah. Semuanya harus tetap berbasis evidence based, jangan sampai merugikan dan keamanan, keselamatan pasien harus diperhitungkan," tegas dr Adib.

Legalitas ganja medis harus diputuskan setelah melalui pemeriksaan mendalam. Perlu koordinasi semua pihak terkait, yakni DPR, Kemenkes, BPOM, BNN, dan MUI, untuk membuat regulasi untuk pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja, seperti Cannabidiol, dengan mempertimbangkan semua risiko dan manfaatnya.

Riset-riset terkait ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan, dengan tetap membatasi aksesnya untuk menghindarkan penyalahgunaannya.

Awal pekan ini, Menteri Kesehatan RI, Ir Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan RI akan segera memberikan izin ganja untuk dilakukan penelitian medis. Regulasi itu akan mengacu pada hasil kajian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait penggunaan ganja untuk medis. Namun Menkes dengan tegas mengatakan bahwa ganja untuk konsumsi tetap dilarang.