UU TPKS Sudah Bisa Diterapkan Aparat, Baleg: Pengawasan Dilakukan Anggota DPR dan Komisi Terkait
Ilustrasi rapat parpurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta. (Antaranews)

Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya, menyatakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah dapat diterapkan aparat penegak hukum (APH) dalam penindakan kasus TPKS. Baik delik pidana maupun hukum acaranya sebagaimana yang diatur dalam UU TPKS.

Willy yang juga Ketua Panja RUU TPKS itu menyatakan, Badan Legislasi DPR kini tidak lagi terlibat setelah UU TPKS disahkan. Sehingga, kata dia, semua pihak sama-sama melakukan pengawasan terkait penerapan UU ini.

“Panja telah selesai melaksanakan tugasnya setelah pengambilan keputusan dalam pembicaraan tingkat I di Badan Legislasi bersama Pemerintah. Selanjutnya seluruh pihak, mulai dari anggota DPR baik secara perorangan maupun sesuai dengan penugasan di komisi terkait, sama-sama melakukan pengawasan dalam pelaksanaan UU TPKS,” ujar Willy kepada wartawan, Rabu, 29 Juni.

Willy menjelaskan, secara umum kewenangan DPR dalam upaya penegakan UU TPKS adalah melakukan fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi, sebagaimana tugas dan fungsi DPR. Selanjutnya, fungsi pengawasan dapat langsung dilakukan oleh komisi terkait begitu UU TPKS diundangkan.

“Jadi misalnya, Komisi VIII. Dia bisa mengawasi dan memastikan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membentuk UPTD PPA di seluruh kabupaten/kota dan provinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 90 UU TPKS paling lambat 3 tahun. Kemudian memastikan dibentuknya dana bantuan korban sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU TPKS dengan Peraturan Pemerintah,” tutur Willy.

“Selain itu, mereka juga bisa memastikan pemerintah untuk membentuk Pelayanan Terpadu sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 72-75 yang diatur dengan Peraturan Presiden; memastikan hak korban atas Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban,” tambahnya.

Kemudian, lanjut Willy, Komisi III DPR juga bisa mengawasi dan memastikan APH dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan bekerja sesuai dengan yang diatur dalam UU TPKS. Komisi hukum itu, kata Willy, juga bisa memastikan dibentuknya unit khusus pengaduan korban TPKS di seluruh struktur kepolisian dan kejaksaan; memastikan LPSK agar langsung berkolaborasi dengan APH dan UPTD PPA dalam memastikan hak-hak korban terpenuhi.

“Demikian juga Komisi IX, mereka bisa mengawasi dan memastikan visum dan layanan kesehatan diberikan oleh rumah sakit dan unit layanan kesehatan lainnya dengan pendanaan yang disediakan dari APBN dan APBD sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 87 UU TPKS,” terangnya.

Sementara komisi lainnya, menurut Willy, dapat memastikan kepada mitra-mitra di komisinya agar membentuk unit atau peraturan internal yang bertujuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual di lembaga masing-masing.

Sedangkan di bidang anggaran, kata Willy, DPR bisa mengoptimalkan fungsi anggarannya dengan memastikan alokasi anggaran untuk pelaksanaan UU TPKS bisa berjalan dengan baik, melalui rapat-rapat mengenai penentuan anggaran dengan lembaga kementerian dan non kementerian terkait.

"Adapun fungsi legislasi dapat dilakukan oleh Badan Legislasi sebagaimana menjadi tugas dan fungsi dari Badan Legislasi dalam melakukan pemantauan dan peninjauan Undang-Undang," katanya.

Secara khusus sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 91 UU TPKS, tambah Willy, peraturan pelaksanaan dari UU TPKS ini harus telah ditetapkan paling lambat 2 tahun setelah diundangkan dan Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan UU TPKS kepada Badan Legislasi paling lambat 3 tahun setelah diundangkan.

“Jika dipandang perlu, Badan Legislasi dapat membentuk Panja Pemantauan dan Peninjauan Pelaksanaan UU TPKS apabila dalam pelaksanaan UU TPKS Pemerintah tidak membentuk peraturan pelaksana dari UU TPKS tepat waktu dan/atau amanat UU TPKS tidak dilakukan sebagaimana mestinya,” kata Willy.

Willy menambahkan, terdapat lima Peraturan Pemerintah dan lima Peraturan Presiden yang harus dibentuk berdasarkan amanat UU TPKS. Misalnya, PP dana bantuan korban, PP penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yg bermuatan TPKS, PP tentang tata cara penanganan, pelindungan dan pemulihan korban, PP ttg penyelenggaraan pencegahan TPKS, serta PP koordinasi dan pemantauan TPKS.

Sedangkan untuk Perpres, kata Willy, dibutuhkan Perpres tentang tim terpadu penilaian penyediaan layanan, Perpres tentang penyelenggaraan pelayanan terpadu di tingkat pusat, Perpres tentang UPTD PPA, Perpres tentang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan untuk APH dan tenaga layanan, serta Perpres tentang kebijakan nasional tentang pemberantasan TPKS.

“Selain itu, DPR dan Pemerintah, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat melakukan sosialisasi UU TPKS kepada seluruh pemangku kepentingan dan warga masyarakat agar UU TPKS dapat optimal dilaksanakan,” pungkasnya.