Pemerintah Perlu Respons Desakan Puan Soal Penerbitan Aturan Teknis UU TPKS
Ketua DPR Puan Maharani (tengah). (Foto: Dok. DPR RI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua DPR RI Puan Maharani kembali mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan aturan teknis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Menanggapi hal ini, pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Ari Junaedi memandang pemerintah perlu merespons desakan Puan ini, mengingat Indonesia tengah menghadapi situasi darurat kekerasan seksual.

“Saya sependapat, sebagaimana yang terus disuarakan oleh Puan Maharani bahwa UU TPKS belum optimal di tengah maraknya kasus kekerasan seksual karena belum adanya aturan teknis,” kata Ari pada Jumat, 2 Juni.

Menurut Ari, penerbitan aturan pelaksana sebagai implementasi UU TPKS bisa langsung segera dilakukan. Terlebih, desakan tersebut juga sudah datang dari berbagai kalangan.

“Baik dari DPR, termasuk pimpinan, Badan Legislasi (Baleg), Komisi III DPR dan Komisi VIII DPR sudah terus mengingatkan. Para aktivis pun juga selalu bersuara sehingga seharusnya Pemerintah memberi respons cepat,” urai dia.

Gencarnya desakan DPR RI, pandang Ari, harus menjadi pengingat bagi pmerintah atas implementasi UU TPKS karena merupakan langkah penting dalam memastikan perlindungan yang lebih baik bagi para korban kekerasan seksual. Ari menilai, UU TPKS juga dapat menegakkan hukum dalam kasus kekerasan seksual secara lebih adil.

“Maraknya kasus kekerasan seksual sudah jadi alert untuk Pemerintah mengevaluasi sistem hukum penanganan kasus kekerasan seksual. UU TPKS mempertegas hukuman pelaku pelecehan maupun kekerasan seksual sehingga penerbitan aturan teknis sudah menjadi kebutuhan mendesak,” tegasnya.

Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani kembali mendesak Pemerintah memprioritaskan penerbitan aturan pelaksana sebagai turunan regulasi UU TPKS.

"Kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah menjadi fenomena gunung es. UU TPKS sudah disahkan lebih dari satu tahun, tapi belum bisa efektif diimplementasikan karena aturan teknisnya belum diterbitkan,” kata Puan, Rabu 31 Mei.

Berdasarkan Pasal 91 UU TPKS, peraturan pelaksana ditetapkan paling lambat dua tahun sejak UU ini diundangkan. Meski begitu, Pemerintah seharusnya bisa mempercepat penerbitan aturan turunan UU TPKS mengingat kasus kekerasan seksual sudah darurat di Indonesia.

“Penyelesaian aturan teknis UU TPKS harus menjadi prioritas mengingat kita menghadapi situasi darurat kekerasan seksual, harus ada gerak cepat dari Pemerintah," sambung Puan.

Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), ada 11.016 kasus kekerasan seksual pada tahun 2022. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 di mana terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4.162 kasus.

Kemudian Komisi nasional (Komnas) Perempuan mencatat, kasus kekerasan seksual menjadi yang terbanyak dilaporkan pada tahun 2022. Terdapat 2.228 kasus yang memuat kekerasan seksual atau 65 persen dari total 3.422 kasus kekerasan berbasis gender.

“Sudah banyak sekali kasus kekerasan seksual di Indonesia. Mau tunggu sampai kapan? Penyelesaian seharusnya tidak hanya berhenti dengan dihukumnya pelaku. Selain rehabilitasi korban, upaya pencegahan harus menjadi prioritas,” tegas Puan.

Puan menyebut, permasalahan kekerasan seksual seharusnya sudah bisa diterapkan dengan UU TPKS apabila sudah ada aturan teknisnya. Sementara, aparat penegak hukum hingga saat ini hanya menggunakan Undang-undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Undang-undang Perlindungan Anak dalam kasus kekerasan seksual di bawah umur.

“Padahal kasus kekerasan seksual bisa lebih efektif jika penegak hukum menerapkan pasal-pasal dalam UU TPKS. Apalagi di UU TPKS ada hukuman tambahan jika pelaku bekerja sebagai pelayan masyarakat,” terang Puan.