JAKARTA - Komitmen parlemen yang terus mengawal penerapan Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mendapatkan apresiasi karena mampu memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.
Hal tersebut disampaikan oleh Aktivis Perempuan dari Sarinah Institute, Luky Sandra Amalia. Menurutnya, perjuangan parlemen khususnya Ketua DPR Puan Maharani dalam memperjuangkan kesetaraan gender kembali terlihat saat dia menyoroti peristiwa kawin tangkap di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Saya setuju dengan pernyataan Ketua DPR bahwa perempuan punya hak asasinya sebagai manusia yang dijamin oleh negara. Karena itu, semestinya kasus-kasus seperti ini tidak boleh lagi terjadi," ujar Amalia, Rabu 13 September.
Dalam kasus ini, Amalia menilai masih ada ketimpangan relasi kuasa yang menyudutkan kaum perempuan. Ia menyebut Puan menyadari masih banyak perempuan diperlakukan sebagai objek. Padahal dalam prinsip hak asasi manusia (HAM), setiap perempuan berhak menentukan sendiri pasangannya.
"Kasus ini menunjukkan bagaimana perempuan masih ditempatkan sebagai sub-ordinate yang bisa diatur oleh pihak-pihak ordinate-nya, termasuk orang tuanya sendiri," jelas Amalia.
"Kita bisa melihat ternyata masih banyak perempuan yang diperlakukan sebagai objek, seolah perempuan itu tidak bisa menentukan arah hidupnya sendiri sehingga kapan dan dengan siapa mereka harus menikah pun diatur oleh pihak-pihak yang merasa punya hak atas diri perempuan tersebut," tambahnya.
Senada dengan Puan, Amalia menegaskan bahwa pemaksaan pernikahan merupakan poin yang diatur dalam UU TPKS. Sebagai salah satu tokoh yang ikut memperjuangkan UU TPKS, Puan dinilai terus berkomitmen agar UU tersebut diimplementasikan dengan baik.
"Salah satu instrumen hukum yang penting dalam kasus ini adalah UU TPKS yang merupakan payung hukum terkait dengan tindak pidana kekerasan seksual," ungkap Amalia.
Peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu mengatakan, peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang berbalut budaya secara turun temurun seharusnya dapat berubah seiring perkembangan zaman. Terlebih, kata Amalia, sudah ada UU TPKS yang melarang adanya pemaksaan perkawinan termasuk yang mengatasnamakan praktik budaya.
"Sebagai payung hukum, UU TPKS ini membutuhkan seperangkat regulasi turunan supaya payung hukum ini bisa memayungi kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual dengan lebih efektif," jelasnya.
Lebih lanjut, Amalia berpandangan bahwa masih banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di mana sebagian besar korbannya adalah perempuan. Untuk itu, aturan turunan sangat dibutuhkan seperti yang selama ini terus disuarakan oleh banyak anggota DPR.
"Kita semua tentu berharap bahwa DPR di periode saat ini, yang mumpung masih di pimpin seorang perempuan ini bisa mendesak mitra kerjanya, yaitu Pemerintah, untuk segera menerbitkan aturan-aturan turunan supaya implementasi UU TPKS lebih efektif," harap Amalia.
Di sisi lain, Amalia menyebut masih ada hal penting lain yang perlu dilakukan selain penerbitan aturan turunan UU TPKS. Seperti pemberian edukasi kepada masyarakat tentang peranan UU TPKS. Menurut Amalia, langkah tersebut penting agar tidak ada lagi adat atau budaya yang berbenturan dengan regulasi hukum.
"Hal ini penting mengingat masih banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kita yang sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak-anak generasi masa depan bangsa ini," papar mahasiswa PhD di University of Sydney tersebut.
Sebelumnya Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti peristiwa kawin tangkap yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Ia menekankan bahwa perempuan berhak menentukan pilihannya, karena hal tersebut merupakan hak asasi manusia.
Puan pun memahami pentingnya menghargai keanekaragaman budaya di Indonesia, namun ia mengingatkan agar jangan sampai budaya mencederai hak-hak perempuan.
“Sekarang kita sudah memiliki UU TPKS yang mengatur adanya larangan perkawinan paksa. Aturan ini harus ditegakkan dan disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, terutama tokoh agama dan tokoh adat di daerah-daerah,” ujar Puan.
“Jadi budaya kawin paksa ini merupakan hal yang melanggar undang-undang dan bisa dipidana,” ungkap Puan.
Sejumlah anggota DPR juga kerap menyuarakan soal pentingnya penerapan UU TPKS dalam kasus-kasus kekerasan seksual, khususnya yang terjadi pada perempuan. Salah satunya adalah Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto.
Didik menyayangkan implementasi UU TPKS yang masih sering tidak digunakan dalam rujukan penerapan hukuman dalam kasus kekerasan seksual.
BACA JUGA:
"Kita sedang berperang melawan kekerasan seksual yang sudah seperti fenomena gunung es. Polisi harus menjadi yang terdepan mendukung pemberantasan kekerasan seksual, salah satunya adalah dengan menegakkan UU TPKS,” ungkap Didik Mukrianto, Kamis (24/).
Didik mendesak agar segala bentuk pidana kekerasan seksual diusut dengan UU TPKS. Hal ini lantaran banyak pidana kekerasan seksual yang diketahui belum menggunakan rujukan UU TPKS dengan dalih belum adanya aturan teknis.
Oleh karenanya, Didik kembali mengingatkan Pemerintah agar cepat menerbitkan aturan turunan agar UU TPKS bisa lebih efektif.
“UU TPKS bukan hanya efektif terhadap penegakan hukumnya, tapi juga dapat lebih melindungi korban kekerasan seksual dalam berbagai aspek,” terang Didik.