Bagikan:

NTB - Tersangka kasus dugaan korupsi penyaluran dan pemberian kredit fiktif pada perusahaan daerah (Perusda) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Cabang Lombok Tengah berinisial H (60) mengajukan gugatan praperadilan. Dalam kasus ini H berperan sebagai pengelola pembukuan keuangan (account officer).

Hartono, penasihat hukum H (60) melayangkan gugatan praperadilan dengan tergugat Kejaksaan Negeri Lombok Tengah.

"Kami menggugat pihak kejaksaan karena ada kejanggalan dalam proses penyelidikan sampai pada tahap penyidikan," kata Hartono di Mataram, NTB, Rabu 29 Juni.

Hartono mengatakan tersangka H tidak mendapat pendampingan selama pemeriksaan pada tahap penyidikan. Menurutnya, penyidik kejaksaan juga dinilai tidak melaksanakan prosedur pemeriksaan secara tepat.

"Saat pemeriksaan, penyidik hanya melakukan copy paste keterangan tersangka sebelumnya sebagai saksi. Tidak ada tanya jawab. Hanya diminta menandatangani BAP (berita acara pemeriksaan) yang sudah jadi," tuturnya.

Lebih aneh lagi, kata dia, usai tersangka menandatangani berkas pemeriksaan, tiba-tiba muncul pengacara penunjukan dari penyidik Kejaksaan Negeri Lombok Tengah. Pengacara tersebut datang dan langsung menandatangani surat BAP.

"Seharusnya kan dari proses pemeriksaan awal, tersangka didampingi penasihat hukum, bukan setelah tersangka menandatangani BAP," ucap Hartono.

Terkait dengan peran Hartono sebagai kuasa hukum tersangka H, pada tahap awal pihaknya menindaklanjuti dengan meminta salinan BAP kepada penyidik.

"Awalnya sempat ditolak, tetapi setelah kami komunikasi mendalam, baru penyidik mau memberikan salinan," katanya.

Hasil pemeriksaan BAP tersangka H ini yang kemudian menjadi dasar Hartono bersama tim mengajukan praperadilan. "Jadi kami melihat ada kesalahan dan kekeliruan. Itu yang kemudian jadi dasar kami ajukan gugatan praperadilan," ujar Hartono.

Materi lain dalam gugatan, Hartono menyampaikan terkait proses penahanan tersangka H yang dinilai tidak sesuai dengan KUHAP.

Lebih lanjut, Hartono mengatakan bahwa gugatan praperadilan sudah masuk dalam register pendaftaran di Pengadilan Negeri Praya. "Jumat (1 Juli), sidang perdana," imbuhnya.

Adapun kasus ini ditangani Kejari Lombok Tengah sejak tahun 2019. Dalam dugaannya, muncul oknum pegawai BPR melakukan perjanjian kredit fiktif pada periode tahun 2014-2015. Kabarnya ada 190 nasabah yang muncul dalam perjanjian kredit fiktif tersebut.

Dari rangkaian penyidikan, sekitar 30 saksi telah diperiksa. Mereka yang memberikan keterangan banyak dari kalangan pegawai PD BPR Cabang Lombok Tengah.

Dalam rangkaiannya, pihak kejaksaan juga telah melakukan penggeledahan. Sejumlah dokumen disita dari dua lokasi kantor PD BPR Cabang Lombok Tengah, yakni di wilayah Batukliang dan Mantang.

Berdasarkan hasil audit kerugian negara, ditemukan angka Rp2,3 miliar. Angka tersebut muncul dari hasil audit sistem pengendali internal (SPI) BPR NTB.