Bagikan:

JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI mengakui pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan beberapa waktu lalu dikerjakan dengan terburu-buru.

Akibatnya, meski telah disahkan pada Senin, 5 Oktober lalu, banyak revisi yang harus dilakukan terhadap undang-undang kontroversial ini. 

"Itulah yang terjadi. Karena RUU dibahas formil secara ngebut, dokumen tidak terkonsolidasi dengan baik. Ada redaksi yang tidak tepat, substansi yang tercecer, termasuk tipo," kata anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto saat dihubungi wartawan, Jumat, 23 Oktober.

Menurut dia, wajar saja bila rakyat mempertanyakan dan sampai turun ke jalan untuk meminta UU Cipta Kerja dibatalkan. Karena memang UU ini dibuat dengan kilat.

"Ini juga yang menjadi pertanyaan publik. Apakah bisa diterima pembentukan UU dengan cara ngebut seperti itu?'," ujar dia.

Kemudian, dia mempertanyakan mengenai revisi yang dilakukan. "Apakah boleh pemerintah memperbaiki naskah RUU pasca pengesahan di paripurna? Ini juga masalah," ungkapnya.

Selain itu dirinya juga menyebut, naskah UU Cipta Kerja yang diserahkan dari DPR RI kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu memang masih belum rapi. Sehingga, seharusnya ke depan, proses pembahasan hingga pengesahan UU Cipta Kerja ini bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak jika proses perundangan harus dilakukan secara cermat. "Jangan ugal-ugalan," tegasnya.

Lebih lanjut, Mulyanto juga memaparkan perihal revisi yang belakangan menghapus Pasal 46 tentang Minyak dan Gas Bumi dari naskah UU Cipta Kerja versi terbaru yang ada di tangan pemerintah. Menurutnya, setelah UU Cipta Kerja itu sampai ke tangan pemerintah, Sekretariat Negara (Setneg) tak hanya mengusulkan revisi menyangkut Pasal 46 tapi juga merevisi 158 bagian dalam 88 halaman. 

Usulan ini, sambungnya, dilakukan pada 16 Oktober lalu atau tepat dua hari setelah berkas naskah UU Cipta Kerja dikirimkan oleh Sekjen DPR RI Indra Iskandar ke Kemensetneg. Revisi inilah, yang diduga Mulyanto, membuat naskah undang-undang ini bertambah 375 halaman.

Tak hanya itu, dirinya juga mengungkap jika Pasal 46 tentang Minyak dan Gas Bumi itu juga tertera dalam naskah UU Cipta Kerja versi 905 halaman yang disahkan dalam rapat paripurna. Namun, sesuai keputusan Panitia Kerja maka pasal tersebut untuk dihapus meski dalam naskah versi 812 halaman yang diantar ke tangan Presiden Jokowi hanya satu ayat saja yang dihapus sehingga Pasal 46 ayat 1 sampai 4 masih tertulis di dalamnya.

"(Baru, red) dalam dokumen terakhir (1.187 halaman, red) Pasal 46 tersebut ingin dihapus sesuai kesepakatan Panja," jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas mengakui bahwa ada satu pasal hilang pada Undang-Undang Cipta Kerja yang kembali mengalami perubahan menjadi 1.187 halaman, yakni Pasal 46 tentang Badan Pengaturan Pendistribusian Minyak dan Gas Bumi.

Perubahan halaman ini mulanya diketahui pemerintah ketika menyerahkan naskah UU Cipta Kerja kepada Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah yang setebal 1.187 halaman. Padahal, sebelumnya DPR menyerahkan naskah setebal 812 halaman kepada pemerintah.

"Terkait Pasal 46 yang mengalami koreksi itu, itu benar. Jadi, kebetulan Setneg yang temukan, itu seharusnya memang dihapus," kata Supratman saat dikonfirmasi, Kamis, 22 Oktober.

Kata Supratman, dalam pembahasan UU Cipta Kerja sebelum disahkan, pemerintah ingin ada pengalihan kewenangan toll fee dari BPH Migas ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Hal itu sempat diutarakan dalam rapat Panitia Kerja DPR RI. Namun, Panja tidak menerima usulan tersebut. Entah kenapa, Badan Legislasi DPR RI luput mengubah usulan pemerintah yang tertuang dalam Pasal 46 itu.

Adapun pasal yang hilang adalah Pasal 46 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagai berikut:

Pasal 46:

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa dilakukan oleh Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).

(2) Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan Pemerintah Pusat dapat terjamin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi di dalam negeri.

(3) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan dan penetapan mengenai:

a. Ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak;

b. Cadangan Bahan Bakar Minyak nasional;

c. Pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak;

d. Tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa;

e. Harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; dan

f. Pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.

(4) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup tugas pengawasan dalam bidang-bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Selain menghilangnya Pasal 46, ada pula perubahan bab terkait Kebijakan Fiskal Nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi. Dalam naskah 812 halaman, hal ini ada di bawah Bab VIA, dan disisipkan antara Bab VII dan Bab VIII.

Namun, dalam naskah 1.187 halaman, Bab VIA berubah menjadi Ban VIIA yang disisipkan diantara Bab VII dan Bab VIII.