Setara: DPR Bisa Dianggap Sponsori Penyimpangan UU TNI
Ilustrasi terorisme (Ilham Amin/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi mengatakan pembahasan rancangan Peraturan Presiden tentang pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme belum menunjukkan kemajuan signifikan. Menurutnya, DPR dan pemerintah belum bisa membuat batasan terkait definisi dan level terorisme yang membutuhkan pelibatan TNI sehingga berpotensi terjadi penyimpangan wewenang.

"Forum konsultasi DPR dan Pemerintah belum menunjukkan kemajuan signifikan untuk memastikan integritas criminal justice system dan penanganan tindak pidana terorisme secara adil dan akuntabel. DPR dan pemerintah masih belum mampu membuat batasan yang jelas tentang definisi terorisme, level terorisme yang membutuhkan pelibatan dan batasan keterlibatan TNI. Sehingga berpotensi menjadikan TNI sebagai penegak hukum yang justru bertentangan dengan sistem hukum pidana Indonesia," kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Kamis, 8 Oktober.

Selain itu, DPR harusnya memikirkan beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian serius seperti mengenai mekanisme pengawasan akuntabilitas TNI, sumber anggaran daerah, hingga potensi adanya benturan dengan aparat penegak hukum lain karena terjadinya kerancuan substansi.

Sebagai mitra, Komisi I DPR RI juga seharusnya memastikan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah dijalankan dengan maksimal guna menjaga profesionalisme TNI bukan malah mensponsori penyimpangan melalui forum konsultasi pembentukan rancangan Perpres ini.

"Melalui forum konsultasi pembentukan Rancangan Perpres ini, Komisi I DPR justru mensponsori penyimpangan UU TNI, khususnya terkait dengan ketentuan operasi militer selain perang (OMSP)," tegasnya.

Tak hanya itu, Komisi I DPR RI dianggap mendorong TNI menangani terorisme dalam kerangka criminal justice system. Padahal, jika terus dijalankan hal ini sama saja dengan mengingkari integritas sistem hukum nasional karena TNI bukanlah penegak hukum. 

"Karena itu pelibatannya dalam penanganan terorisme hanya terbatas pada jenis dan level terorisme yang spesifik," ujarnya.

Sehingga, untuk mencegah terjadinya penyimpangan, Hendardi  meminta forum konsultasi konsultasi DPR dan pemerintah terkait pelibatan TNI ini dapat dilakukan secara terbuka. Komisi I DPR RI, kata Hendardi, harus mendengarkan masukan publik secara serius karena pelibatan TNI untuk mengurusi terorisme dapat berpotensi merusak tatanan hukum di Indonesia. 

"Bahkan jika diperlukan DPR RI dapat mengembalikan rancangan Perpres tersebut terhadap pemerintah untuk dapat diperbaiki lebih dulu sebelum kembali dibahas," ungkapnya.

Diketahui, rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme telah diserahkan ke DPR pada 4 Mei lalu. Selanjutnya, DPR akan memberikan pertimbangan merujuk aturan di atasnya yaitu UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Sejak rancangan tersebut diserahkan ke DPR, gelombang penolakan terus terjadi. Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat bahkan membuat petisi menolak rancangan Perpres tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut, meski pro kontra terjadi, namun kekuatan TNI dibutuhkan untuk menangani aksi terorisme di Indonesia. 

"Inilah pro dan kontra. Komprominya, terorisme pidana tetapi karena banyak yang tak cuma pidana dan hukum maka dicantumkanlah TNI bisa ikut tangani aksi terorisme dan keterlibatan TNI diatur Perpres," kata Mahfud saat berkunjung ke Markas Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis, 30 Juli.

Lebih lanjut, Mahfud mengatakan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tersebut sudah berada di DPR RI. Dia tak menampik, saat rancangan itu dibahas, ada sejumlah perdebatan di tengah masyarakat. Tapi, dia mengklaim telah melakukan pembicaraan terhadap sejumlah pihak termasuk mereka yang menolak. 

"Termasuk teman-teman LSM, bahwa teror itu bukan urusan semata, tidak bisa semuanya diselesaikan hanya oleh polisi," ujarnya.