Pembahasan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Diminta Transparan
Ilustrasi (Ilham Amin/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah dan DPR RI untuk transparan dalam pembahasan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme.

Hal ini disampaikan oleh peneliti sekaligus Direktur Imparsial, Al Araf  menanggapi pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyatakan rancangan Perpres tersebut telah diserahkan ke DPR RI.

"Kami mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres tersebut secara terbuka. Dengan demikian adalah menjadi keharusan bagi pemerintah dan DPR untuk menyampaikan draft rancangan Perpres yang sudah jadi kepada publik," kata Araf seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa, 4 Agustus.

Diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Kemananan ini terdiri dari Kontras, Imparsial, Elsam, PBHI, Setara Institute, HRWG, YLBHI, Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Pers, Perludem, LBH Jakarta, Public Virtue Institue, ICJR, Perludem, dan Pilnet Indonesia.

Araf mengatakan rancangan Perpres yang mengatur tentang pelibatan TNI dalam mengatasi masalah terorisme ini sejak awal memang telah menimbulkan kontroversi dan penolakan dari masyarakat. Sebab, rancangan ini dinilai akan mengancam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) karena akan memberikan kewenangan berlebih pada TNI.

"Dalam konteks itu seharusnya pemerintah dan DPR sungguh-sungguh mengakomodasi masukan masyarakat," tegasnya.

Lebih lanjut, Araf menyampaikan ada sejumlah poin yang harusnya terkandung dalam rancangan Perpres tersebut. Menurutnya, tugas operasi militer untuk mengatasi tindak terorisme harus dibatasi hanya berfungsi sebagai penindakan yang sifatnya terbatas seperti menangani pembajakan pesawat, kapal, maupun terorisme di kantor perwakilan negara sahabat.

TNI, sambung dia, tidak perlu memiliki fungsi penangkalan dan pemulihan dalam penanganan aksi terorisme. "Pemberian fungsi penangkalan dan pemulihan sebagaimana diatur dalam draft lama rancangan Perpres terlalu berlebihan dan mengancam negara hukum serta HAM," ujarnya.

Berikutnya, Araf menilai penggunaan dan pengerahan TNI dalam penanganan terorisme seharusnya juga didasari keputusan politik negara yaitu keputusan presiden dengan pertimbangan DPR. Apalagi, hal ini dianggap telah sesuai dengan Pasal 7 Ayat 2 dan Ayat 3 jo. Pasal 5 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Keputusan itu harus dibuat secara tertulis oleh Presiden sehingga jelas tentang maksud, tujuan, waktu, anggaran, jumlah pasukan dalam pelibatannya," jelasnya.

Selain itu, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme dalam negeri harusnya jadi pilihan terakhir ketika kapasitas penegak hukum lainnya sudah tidak bisa mengatasi. Pelibatan ini, sambung Arad, juga bersifat sementara dan dalam jangka waktu tertentu serta tunduk pada norma hukum dan HAM yang berlaku.

Sehingga, konsekuensinya seluruh prajurit TNI yang terlibat dalam penanganan aksi terorisme harus tunduk pada KUHAP, KUHP, dan UU HAM.

Kemudian masalah alokasi anggaran untuk TNI mengatasi terorisme, kata Araf, harus berasal dari APBN seperti yang diatur dalam Pasal 66 UU TNI. "Pendanaan di luar APBN untuk TNI (APBD dan lainnya) memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing-masing," ujarnya.

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan meski pro dan kontra terjadi namun kekuatan TNI dibutuhkan untuk menangani aksi terorisme di dalam negeri. Hal inilah, yang menurut Mahfud menjadi alasan adanya rancangan Perpres tentang Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme.

"Inilah pro dan kontra. Komprominya, terorisme pidana tetapi karena banyak yang tak cuma pidana dan hukum maka dicantumkanlah TNI bisa ikut tangani aksi terorisme dan keterlibatan TNI diatur Perpres," kata Mahfud saat berkunjung ke Markas Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis, 30 Juli.

Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan rancangan Perpres tersebut kini sudah berada di DPR RI dan tak menampik, saat pembahasan dilakukan sejumlah protes muncul dari masyarakat.

Hanya saja dia mengklaim, protes itu selesai karena adanya proses komunikasi dan semua pihak paham pertimbangan alasan pemerintah melibatkan TNI dalam menangani aksi terorisme.

"Akhirnya semuanya memahami. Saya sudah ditugaskan Presiden mengharmoniskan. Tinggal beberapa yang perlu diperbaiki dan dalam waktu tidak lama DPR akan segera memproses," ungkap dia.