Pelibatan TNI Atasi Terorisme, Mahfud MD: Polri Tidak Bisa Sendirian
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. (Foto: Instagram @mohmahfudmd)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjelaskan bahwa unsur TNI diperlukan untuk membantu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 Polri dalam mengatasi tindak pidana terorisme.

Hal ini menanggapi adanya kontroversi dalam rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Rancangan Perpres telah diserahkan ke DPR pada 4 Mei lalu. Selanjutnya, DPR akan memberikan pertimbangan.

"TNI harus terlibat dalam eskalasi teror. Polri tidak bisa sendirian. Ada keadaan-keadaan tertentu di mana yang bisa melakukan itu hanya TNI. Misalnya, terjadi aksi teror di tempat yang tidak ada di dalam juridiksinya Polri," kata Mahfud MD kepada wartawan, Sabtu, 8 Agustus.

Polisi, kata Mahfud, memiliki juridiksi melakukan penegakan hukum hanya dalam wilayah kedaulatan teritorial Indonesia. Sementara, jika pergerakan terorisme sudah masuk kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE), Polri tidak memiliki wewenang untuk menindak.

Kemudian, Mahfud menyebut bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Terorisme menyebutkan bahwa TNI dilibatkan untuk menangani aksi terorisme.

"Pelibatan TNI dalam menyelesaikan aksi terorisme diatur dengan peraturan presiden yang dikonsultasikan dengan DPR. Jadi, pelibatan TNI di dalam aksi terorisme itu adalah perintah UU," ucap dia.

Diketahui, sejak rancangan tersebut diserahkan ke DPR, gelombang penolakan terus terjadi. Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat bahkan membuat petisi menolak rancangan Perpres tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan rancangan Perpres yang mengatur tentang pelibatan TNI dalam mengatasi masalah terorisme ini sejak awal memang telah menimbulkan kontroversi dan penolakan dari masyarakat.

Sebab, rancangan ini dinilai akan mengancam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) karena akan memberikan kewenangan berlebih pada TNI.

Koalisi ini terdiri dari Kontras, Imparsial, Elsam, PBHI, Setara Institute, HRWG, YLBHI, Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Pers, Perludem, LBH Jakarta, Public Virtue Institue, ICJR, Perludem, dan Pilnet Indonesia.

TNI, sambung dia, tidak perlu memiliki fungsi penangkalan dan pemulihan dalam penanganan aksi terorisme. "Pemberian fungsi penangkalan dan pemulihan sebagaimana diatur dalam draft lama rancangan Perpres terlalu berlebihan dan mengancam negara hukum serta HAM," ujarnya.