Perludem: Landaikan Dulu Kasus COVID-19, Baru Pilkada Digelar
Ilustrasi pemilihan umum yang dilakukan Komisioner KPU (Diah Ayu Wardani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut, selama ini yang diminta masyarakat bukanlah menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 hingga pandemi COVID-19 bersih 100 persen.

Dia mengatakan, selama ini pegiat pemilihan umum dan masyarakat menginginkan agar kegiatan pesta demokrasi ini ditunda terlebih dahulu, paling tidak hingga kasus COVID-19 melandai supaya tidak terjadi penularan di tengah masyarakat.

"Yang harus diluruskan, bukan berarti meminta pilkadanya setelah COVID-19 hilang sama sekali. 100 persen bersih. Betul kita tidak tahu kapan (COVID-19 akan berakhir, red) tapi yang dimaksud dengan menunda adalah pemerintah betul-betul mendedikasikan, berkonsentrasi penuh dan memberikan seluruh energinya pada upaya mengatasi COVID-19," kata Titi dalam acara diskusi yang ditayangkan secara daring di YouTube, Sabtu, 3 September.

Dengan adanya penundaan, Titi mengatakan, pemerintah bisa mengambil waktu untuk mempersiapkan regulasi maupun aturan main dalam kompetisi yang berjalan di tengah pandemi. Termasuk, melengkapi sanksi tegas yang bisa memberikan efek jera bagi pelanggaran yang terjadi. 

"Jadi fungsinya penundaan itu adalah membuat, menyiapkan segala prasyarat hukum atau dasar hukum yang kuat. Sehingga ketika dalam praktik pelaksanaannya tidak tiba masa, tiba akal. Maksudnya ada masalah, baru ribut-ribut cari jalan penyelesainnya. Akal memang bisa tiba tapi sepanjang akal pasti ada batasannya," tegasnya.

Titi menyebut, memang selama ini ada sejumlah negara yang tetap menggelar pemilu seperti Korea Selatan, Mongolia, Sri Lanka, hingga Singapura. Namun, negara-negara ini lebih dulu melandaikan kasus positifnya. 

"Mereka landaikan dulu pandeminya baru memutuskan pelaksanaan pemilu. Bahkan beberapa negara juga memutuskan menunda karena angkanya naik, padahal naiknya tidak banyak. Seperti New Zealand," ungkapnya.

"Mereka (negara yang menjalankan pemilu, red) juga sama sekali tidak otak atik pemilu sebagai instrumen menurunkan pandemi. Jadi, mereka menurunkan dulu pandeminya, meyakinkan masyrakat negara punya kapasitas, dan menyiapkan instrumen hukum yang jelas, tegas, ajeg, baru pemilu dijalankan," imbuh dia.

Keadaan tersebut berbanding dengan Indonesia. Jika melihat kondisi Indonesia saat ini, Titi menilai masalah peraturan yang diterapkan di dalam pelaksanaan Pilkada 2020 bahkan telah diubah sebanyak dua kali.

"Pertama, Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020, diubah lagi menjadi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020. Terakhir ribut-ribut waktu soal pendaftaran calon tanggal 4-6 September, diubah lagi dengan PKPU Nomor 13 Tahun 2020. Makanya itu kita perlu waktu yang lebih layak, memadai untuk memberikan atensi sehingga kita bisa memitigasi risiko yang lebih komperhensif," ujar dia.

Menanggapi pernyataan Titi tersebut, Wasekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menilai, sebenarnya penundaan memang bisa dilakukan berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020. Asalkan, pihak penyelenggara yaitu KPU bisa memastikan memang tak mungkin kontestasi tersebut dilaksanakan di tengah pandemi COVID-19.

"Di Perppu yang kemudian jadi undang-undang itu ada klausul di penjelasan dalam hal pilkada tak dapat dilaksanakan di pandemi, pilkada bisa diundur. Jadi memang, untuk daerah tertentu yang ditingkat bencananya tidak bisa ditolong ya bisa ditunda," ungkapnya dalam acara diskusi yang sama.

Namun, menurut dia, kegentingan penundaan ini tak perlu dilakukan. Karena sebagai penyelenggara pemilu, KPU tetap menyebut Pilkada 2020 tetap bisa dilanjutkan. 

Lagipula, pilkada ini harus tetap dilanjutkan demi mencegah terjadinya kekosongan 270 pemimpin di daerah dan dikhawatirkan pengganti sementara yang akan menggantikan posisi kepala daerah tidak akan mencukupi. "Seperti Jatim ada 19 pilkada. Coba dibayangkan, 19 daerah itu dijabat orang yang ditugaskan, taruhlah kepala dinas, kepala badan, ya habis orangnya," kata Achmad.

Selain itu, anggota DPR RI ini juga menyinggung, ketakutan masyarakat soal klaster baru pilkada itu bisa selesai dengan diterapkannya protokol kesehatan yang tegas sanksi hukumnya bagi pelanggar. "Kata Pak Menko Polhukam, DKI tanpa pilkada angka COVID-nya tinggi," ujarnya sambil tertawa menyudahi jawabannya.