Bagikan:

JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyarankan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap menggunakan proses rekapitulasi manual yang berjenjang pada penghitungan suara Pilkada 2020.

"Perludem merekomendasikan rekapitulasi suara di Pilkada 2020 tetap berbasis manual. Lalu, Sirekap digunakan sebagai data pembanding sekaligus sarana transparansi dan informasi publik," kata peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi dalam keterangannya, Kamis, 27 Agustus.

Pada simulasi Sirekap, Perludem melihat Staf KPU yang berperan sebagai petugas KPPS membutuhkan waktu lama untuk berhasil mengirim hasil pindaian sistem Optical Character Recognition (OCR) dan Optical Mark Recognition (OMR) ke server tabulasi suara.

Selain itu, sistem kerap tidak berhasil memindai form C1 Plano karena foto yang diambil petugas kurang fokus, sistem salah mengkonversi angka, dan barcode yang tak dapat diakses oleh saksi dan pengawas tempat pemungutan suara (TPS).

"Aksesnya ditolak sistem dengan jawaban 'Jaringan Anda Tidak Privat'. Sehingga, secara teknologi masih memerlukan perbaikan," ucap Nurul.

Kemudian, kata Nurul, dalam simulasi Sirekap yang dilakukan 30 staf KPU, masih terdapat beberapa petugas KPPS yang kesulitan dan kebingungan saat sistem tak bisa membaca Form C1 Plano, sistem salah mengkonversi angka, dan barcode tidak bisa diakses.

"Kesulitan dan kebingungan yang sama akan dihadapi oleh KPPS jika bimbingan yang diberikan tak memadai. Untuk hal tersebut, KPU baiknya menyiapkan daftar penjelasan masalah yang kerap terjadi selama uji coba guna membantu KPPS bertugas," tutur dia.

Lalu, Perludem menilai Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Pilkada Nomor 1 Tahun 2015 belum cukup menjadi payung hukum yang mengatur Sirekap. Akibatnya, penerapan Sirekap tersebut tak dapat diatur di Peraturan KPU (PKPU).

"UU Pilkada tidak mengatur bukti digital sebagai bukti yang sah secara hukum, lembaga atau pihak yang berwenang untuk mengaudit Sirekap, dan sanksi terhadap pelanggaran dalam proses rekapitulasi elektronik," ucap dia.

Lebih lanjut, Nurul menyebut bahwa Badan Pengawas Pemilu juga tidak sepakat bila Sirekap menggantikan proses rekapitulasi manual berjenjang. Bawaslu hanya menghendaki agar Sirekap menjadi pendamping rekapitulasi manual.

"Ketidaksamaan pandangan antara KPU dan Bawaslu terkait status Sirekap tak boleh disepelekan," ungkap Nurul.

Seperti diketahui, KPU menggelar simulasi penggunaan apilkasi Sirekap. Sirekap bakal digunakan untuk menghitung hasil suara pilkada yang digelar di tengah pandemi COVID-19

Simulasi dilakukan oleh 30 pegawai KPU RI yang berperan sebagai Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). KPU juga menghadirkan 6 orang saksi dan 6 pengawas tempat pemungutan suara.

Pertama, KPU menyiapkan lembar berita acara hasil rekapitulasi suara (C1-KWK) yang sudah terisi sebagai sampel. Lembar ini dipasang di sekitar dinding Ruang Rapat Pleno kantor KPU RI.

"Masing-masing petugas KPPS ini nanti menggunakan aplikasi Sirekap di ponsel masing-masing, dengan beberapa urutan yang ada," jelas Komisioner KPU Evi Novida Ginting.

Aplikasi Sirekap akan menampilkan data dari proses input C1 plano. Petugas KPPS kemudian mengirimkan hasil foto kepada saksi dan pengawas TPS dalam bentuk QR code.

Data lalu diagregasi dari setiap TPS ke kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten/kota pada pemilihan wali kota/bupati, atau diteruskan ke tingkat provinsi untuk pemilihan gubernur.