Alasan Kenapa Ada Petisi Tunda Pilkada Hingga 2021
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah lembaga masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat membuat petisi daring, menuntut penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 ditunda sampai tahun 2021.

Sebenarnya, pemerintah telah memutuskan bahwa penyelenggaraan hari pencoblosan pilkada yang mulanya dijadwalkan pada 23 September, ditunda menjadi Desember. Kemudian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai melanjutkan rangkaian persiapan pilkada pada 6 Juni.

Namun, salah satu inisiator petisi yakni Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggaraini menganggap kelanjutan tahapan Pilkada dari Juni hingga Desember masih berisiko penularan virus corona karena angka kasus positif virus ini di Indonesia terus meningkat.

"Memaksakan penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Dampaknya, akan bisa terpapar banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada dengan COVID-19," kata Titi saat dikonfirmasi VOI, Rabu, 27 Mei.

Titi melanjutkan, penyelenggaraan masa kampanye pilkada di masa pagebluk COVID-19 juga dikhawatirkan menimbulkan politisasi bantuan sosial sebagai media kampanye dari kepala daerah petahana.

"Politisasi bantuan sosial ini mengakibatkan kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu petahana dan non petahana. Ini merugikan peserta yang bukan petahana," ucapnya.

Tak ada salahnya menunda

Penundaan pilkada ke tahun 2021 otomatis akan mengosongkan ruang kepemimpinan ratusan kepala daerah, karena sebagian besar masa jabatan akan berakhir pada Februari 2021. Kelowongan jabatan ini harus diisi oleh penjabat (Pj) pemerintah.

Menurut Titi, ini bukan kendala. Katanya, pemerintah tak akan kesulitan menyiapkan sumber daya yang bisa mengisi jabatan sementara 270 kepala daerah, baik kabupaten, kota, maupun provinsi. 

Pun jika pilkada tetap digelar di tahun 2020, pemerintah tetap menyiapkan pelaksana tugas (Plt) bagi calon kepala daerah petahana yang cuti saat menjalani masa kampanye.

"Saya tidak melihat ini sebagai masalah. Sepanjang pemerintah siap pilkada di Desember, artinya mereka juga siap dengan pengisian penjabat kalau Pilkada ditunda ke 2021. Sebab, sama-sama ada kebutuhan pada SDM, baik penyelenggaraan di 2020 maupun 2021," jelas Titi.

Selain itu, Titi juga menganggap tak ada masalah jika masa jabatan kepala daerah yang terpilih pada Pilkada nanti akan menjadi lebih singkat dari standar satu periode selama lima tahun. Sebab, ada rencana pilkada di periode berikutnya digelar tahun 2024.

"Keadilan masa jabatan kepala daerah mestinya tidak membawa risiko apalagi sampai mempertaruhkan keselamatan dan kesehatan warga negara secara keseluruhan. Keadilan itu harus dilihat menyeluruh untuk semua," ungkap Titi.

Sebagai informasi, lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat terdiri dari berbagai organisasi seperti Netgrit, Netfid, Perludem, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, Kopel, JPPR, KIPP Indonesia, dan PPUA Disabilitas. 

Petisi penolakan yang mereka buat berada di change.org. Petisi selengkapnya dapat dibaca di www.change.org/janganpilkadadulu. 

Sebelum membuat petisi, sejumlah organisasi tersebut sudah menyalurkan pemikiran soal penundaan pilkada lewat diskusi ke Pemerintah, KPU, maupun Anggota Komisi II. Namun, pemerintah tetap memutuskan akan untuk melaksanakan Pilkada pada Desember 2020.