JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti berjalannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 meski pandemi COVID-19 masih terjadi. Peneliti ICW Egi Primayogha menduga, ada kepentingan lain di balik berlangsungnya kontestasi lima tahunan ini.
"Kuat diduga terdapat kepentingan lain di balik keputusan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada merupakan ajang transaksi kepentingan cukong," kata Egi dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Sabtu, 3 Oktober.
Dugaan ini juga makin menguat dengan adanya pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD beberapa waktu lalu yang menyebut, hampir 92 persen calon kepala daerah maju bukan karena biaya sendiri melainkan dibiayai para cukong dan merekalah yang akan mendapat keuntungan ekonomi-politik, jika calon yang dibiayainya memenangkan pertarungan tersebut.
Lebih lanjut, Egi juga mempertanyakan keputusan pemerintah soal pelaksanaan Pilkada 2020. Padahal, menurutnya, ada sejumlah hal yang harusnya bisa menjadi alasan pilkada ini ditunda.
Pertama, penambahan kasus COVID-19. Menurutnya, kasus COVID-19 terus bertambah di Indonesia. Bahkan beberapa waktu yang lalu, penambahan kasus COVID-19 hampir mencapai 5.000 kasus.
Jika pilkada ini ini diteruskan, kata dia, bisa dipastikan akan mengancam kesehatan dan nyawa masyarakat. Mengingat, selama ini, pelaksaan tahapan pemilihan tersebut selalu menimbulkan kerumunan orang yang berpotensi menyebarkan COVID-19.
"Proses kampanye misalnya, jelas akan melibatkan banyak orang. Belum lagi dengan perhitungan suara nanti yang akan melibatkan banyak pihak dalam prosesnya. Dengan begitu maka risiko penularannya akan makin tinggi," ungkap dia.
Alasan kedua, adalah soal praktik kecurangan yang makin rawan terjadi karena akan makin melemahnya pengawasan.
Menurut dia, di masa pandemi seperti sekarang ini, praktik politik uang akan makin marak terjadi karena banyak warga yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Belum lagi, bantuan sosial juga tak selalu lancar diberikan oleh pemerintah. Maka, Egi menilai, hal ini bisa dimanfaatkan bagi para kandidat melakukan praktik vote buying atau membeli dukungan.
"Kandidat memberikan hal mendesak yang dibutuhkan warga guna mendapatkan suara. Politisasi bantuan sosial untuk kepentingan pilkada juga akan marak terjadi terutama dilakukan oleh petahana," ungkap dia.
BACA JUGA:
Berikutnya, Pilkada 2020 harusnya ditunda karena partisipasi masyarakat akan menurun lantaran takut terpapar COVID-19, termasuk saat di bilik suara meskipun ada jaminan protokol kesehatan.
Rendahnya partisipasi masyarakat itu, dianggap menurunkan kualitas dari pelaksaan Pilkada 2020, termasuk mencerminkan sejumlah permasalahan di balik prosesnya.
Lagipula, jalan untuk menunda kontestasi ini sebenarnya terbuka lebar. Sebab, dalam Pasal 201A ayat (3) Perppu Nomor 2 Tahun 2020 disebutkan, Pilkada dapat ditunda dan dijadwalkan kembali jika pandemi COVID-19 belum berakhir. Selain itu, pemerintah juga bisa menunda Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) karena adanya pandemi ini meskipun tetap melaksanakan pilkada.
"Oleh karena itu jika Presiden Jokowi terus bersikukuh untuk tak menunda Pilkada 2020 dengan dalih yang tidak cukup masuk aka, maka presiden bisa dianggap tidak memprioritaskan keselamatan warga. Sebaliknya, presiden dapat dianggap mendahulukan kepentingan politik dan kepentingan para bandar yang mungkin telah membeli pilkada ke depan," pungkasnya.