Bagikan:

JAKARTA - Program Vaksinasi Gotong Royong terus menjadi polemik. Sejumlah pihak mendesak supaya skema vaksinasi COVID-19 berbayar tersebut dibatalkan, meski saat ini pelaksanaannya ditunda. 

Desakan ini salah satunya muncul dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Egi Primayogha menilai program tersebut berpotensi menimbulkan masalah serius jika tetap berlanjut.

"Atas kebijakan Vaksin Gotong Royong itu, ICW mencatat beberapa potensi masalah serius," kata Egi dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan yang dikutip Rabu, 14 Juli.

Potensi masalah pertama, kebijakan dual track atau gratis dan berbayar untuk barang yang dicari publik seperti vaksin COVID-19 ini akan melahirkan praktik penyimpangan. Praktik ini bisa terjadi dalam bentuk penyelundupan maupun pengalihan secara ilegal dari barang yang tadinya gratis menjadi berbayar.

Hal tersebut bisa terjadi karena adanya motivasi untuk mendapatkan keuntungan. Apalagi, aturan mengenai vaksin berbayar ini telah diatur oleh negara dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan.

Sehingga meski diatur supliernya yaitu PT Kimia Farma (Persero) Tbk, tapi dengan sistem pengawasan yang lemah maka celah penyimpangan akan tetap terbuka. "Hal ini (dapat, red) membuat target vaksinasi massal secara cepat jadi terhambat dan membuat penanganan wabah COVID-19 jadi sulit dilakukan," tegas Egi.

Kedua, perihal keterbukaan harga perolehan vaksin. Dia mengatakan, harga vaksin Sinopharm dari produsernya di Uni Emirat Arab yang digunakan dalam program Vaksin Gotong Royong tak pernah dibuka ke publik.

Pemerintah, kata Egi, memang membuka informasi mengenai margin harga dan batas maksimal keuntungan dari vaksin berbayar tersebut lewat Permenkes Nomor 19 tahun 2021. 

Tapi, konteks keterbukaan ini masih terasa semu karena masyarakat perlu tahu berapa keuntungan yang diperoleh para importir dan pelaksana vaksin berbayar. Alasannya, vaksin ini merupakan barang langka yang pengadaannya harus dilakukan oleh negara.

Masalah berikutnya adalah peran ganda badan usaha dan monopoli untuk keuntungan ekonomi. Terkait peran ganda, ICW menilai, hal ini bisa berpengaruh bagi badan usaha karena mereka bisa mengalihkan fokus dari pelayanan kesehatan masyarakat ke motivasi untuk memperoleh keuntungan dari program vaksin berbayar.

Hal ini disebabkan karena mereka bukan hanya jadi pelaku usaha tapi juga jadi penyedia vaksin berbayar. Hal ini tentu aka menambah tekanan pada penyelenggaraan vaksin.

Sementara untuk monopoli keuntungan, pemerintah dianggap memberikan cek kosong kepada BUMN penyelenggara untuk mendapatkan margin keuntungan tanpa melalui persaingan. 

Padahal, badan usaha milik negara ini tidak steril dari masalah tata kelola, termasuk bagaimana hubungan patronase antara elite negara dengan perusahaan pelat merah tersebut. Hal inilah yang kemudian membuka kans terjadinya praktik terselubung menjadikan BUMN sebagai kasir politisi.

Berikutnya, ICW juga menyoroti berbagai masalah yang menimpa Kimia Farma sebagai penyedia layanan vaksin berbayar. Kata Egi, begitu banyak masalah yang menimpa perusahaan ini di tengah pandemi COVID-19.

Termasuk saat anak perusahaan BUMN ini, PT Kimia Farma Diagnostika terlibat dalam kasus mengedarkan antigen palsu di lingkungan Bandara Kualanamu, Medan.

Kemudian, vaksinasi berbayar ini juga dianggap dapat menguntungkan pihak-pihak lain. ICW menghitung secara kasar, Kimia Farma menjadi perusahaan BUMN yang paling diuntungkan karena dari program ini bisa meraup keuntungan hingga Rp17,2 triliun jika terdapat 172,61 juta dosis vaksin yang diedarkan.

Angka ini didasari Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4643/2021 yang harga pembelian vaksin produksi Sinopharm adalah Rp321.660 per dosis dan tarif layanan sebesar Rp117.910 per dosis. Dengan dua kali dosis, maka pembeli harus membayar Rp879.140.

"Apabila penjualan dua dosis vaksin mendapat keuntungan Rp100 ribu, maka keuntungan yang didapat adalah Rp 17,2 triliun," ungkap Egi.

Selain itu, keuntungan juga akan diperoleh perusahaan privat karena mereka dapat menyerahkan kewajiban vaksinasi pada individu atau pekerjanya masing-masing.

Masalah terakhir adalah berkaitan dengan korupsi kebijakan dalam pelaksanaan vaksinasi. Apalagi, sejak awal vaksin COVID-19 sudah ditargetkan untuk menjadi lahan bisnis.

Mengingat, wacana vaksinasi berbayar ini bukan baru kali ini saja terdengar melainkan juga pernah muncul pada akhir 2020 lalu. "Akan tetapi karena mendapat penolakan yang meluas pemerintah memutuskan vaksin diberikan gratis kepada seluruh warga. Keputusan itu lalu secara perlahan berubah," kata Egi.

Selain itu, peraturan menteri terkait pelaksanaan vaksinasi ini kerap berubah-ubah bahkan hingga tiga kali sejak Desember 2020 yaitu Permenkes Nomor 10 Tahun 2021, Permenkes Nomor 18 Tahun 2021, dan Permenkes Nomor 19 Tahun 2021.

Inkonsistensi inilah yang kemudian mengindikasikan adanya kepentingan bisnis dalam pelaksanaan program vaksinasi ini. "Ikut diduga terdapat praktik perburuan rente dalam hal tersebut," tegas Egi.

Akibatnya, negara dibajak oleh kepentingan bisnis dan praktik perburuan rente ini dituangkan dalam bentuk kebijakan publik.

Dengan berbagai masalah yang dipaparkan Egi tersebut, ICW kemudian meminta kebijakan vaksin berbayar ini tak hanya ditunda. "Kebijakan vaksin berbayar harus segera dibatalkan," pungkasnya.