KPK: 82 Persen Calon Kepala Daerah Dapat Dana Sponsor dari Pihak Ketiga
Gedung KPK (Foto: Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ada 82 persen calon kepala daerah yang membiayai pencalonannya bukan dana pribadi tapi dibantu dengan pihak ketiga sebagai sponsor. Hal ini berdasarkan hasil kajiannya.

"Faktanya dalam kajian KPK sebelumnya ada sekitar 82 persen Pilkada itu calon calon kada itu 82 persennya didanai oleh sponsor, tidak didanai oleh pribadinya," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers secara daring bersama Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Jumat, 11 September.

Adanya sponsor yang menyokong dana kampanye calon kepala daerah ini, kata Ghufron, akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena ada perasaan memiliki hutang budi dengan pihak yang memberikan sponsor.

Atas alasan itulah, KPK kemudian merekomendasikan agar ada kerja sama antara penyelenggara pemilu dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Tujuannya, agar aliran dana mencurigakan yang diterima oleh pasangan calon kepala daerah dapat ditelusuri demi mencegah terjadi politik uang.

"Perlu kerjasama dan koordinasi dengan PPATK karena PPATK sebagai analis transaksi keuangan memiliki kemampuan untuk mentrace transaksi keuangan yang kemudian memungkinkan sebagai money politic," ungkap Ghufron.

Menanggapi pernyataan tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD mengakui dirinya juga mengetahui fakta adanya calon kepala daerah yang dibiayai oleh cukong. Keadaan semacam inilah, yang kemudian melahirkan adanya tindak korupsi yang dibalut dengan kebijakan yang diambil oleh kepala daerah.

Korupsi melalui kebijakan, kata Mahfud lebih berbahaya daripada kejahatan korupsi pada umumnya. Sebab bukan tak mungkin, kepala daerah terpilih akan menerbitkan aturan yang menguntungkan pihak sponsor. 

"Itu melahirkan kebijakan sesudah terpilih melahirkan korupsi kebijakan dan korupsi kebijakan itu lebih bahaya daripada korupsi uang," ungkap Mahfud dalam konferensi pers yang sama.

Salah satu contohnya adalah pemberian izin tambang atau izin penguasaan lahan terhadap pengusaha yang tumpang tindih dengan aturan lainnya.

"Ternyata ada yang melebihi luas daerahnya, kenapa karena setiap bupati baru membuat lisensi baru membuat izin baru sehingga tumpang tindah berperkara ke MK pada akhirnya. Apa yang diperkarakan sengketa kewenangan ada kemudian undang-undang dan sebagainya," katanya.

Meski mengaku ini adalah salah satu kelemahan dari sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, namun eks Ketua Mahkamah Konstitusi ini tetap menganggap jika sistem ini masih lebih baik dibandingkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

"Ya sudahlah pilkada langsung gitu, ini sudah melalui proses politik yang panjang dan sudah selesai permasalahannya dan kita harus perbaiki ini," pungkasnya.

Terkait