JAKARTA - Terdakwa jaksa Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan eksepsi. Dalam persidangan Piangki menegaskan, tidak pernah menyebut nama Jaksa Agung, ST Burhanuddin dan mantan Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali.
Melalui pengacaranya, Jefri Moses, Pinangki menyebut, tidak ada hubungan dengan kedua orang itu dengan kasus ini. Bahkan, nama mereka sama sekali tidak pernah disebut olehnya dalam proses pemeriksaan.
"Perihal nama Bapak Hatta Ali dan Bapak ST Burhanudin yang ikut dikait-kaitkan namanya belakangan ini dalam permasalahan hukum terdakwa, sama sekali tidak ada hubungannya dan terdakwa tidak pernah menyebut nama beliau dalam proses penyidikan dan penuntutan perkara terdakwa," kata Jefri dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 September
Terkhusus untuk Hatta Ali, Jefri menyebut jika kliennya sama sekali tak mengenalnya. Bahkan, Pinangki hanya mengetahui Hatta Ali sebagai mantan Ketua Mahkamah Agung.
"Pinangki mengaku tidak mengenal secara personal dan tidak pernah berkomunikasi dengan beliau," kata dia.
Sementara soal Burhanuddin, hubungan dengan Pinangki diklaim hanya sebatas pekerjaan. Sebab, Burhanuddin merupakan Jaksa Agung yang merupakan atasannya di Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Namun tidak kenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan beliau," ujar dia.
BACA JUGA:
Sebelumnya, nama Burhanuddin dan Hatta Ali disebutkan dalam action plan poin dua, tiga, enam dan tujuh dalam kasus yang menjerat Pinangki.
Dalam poin dua disebutkan pengiriman surat dari pengacara kepada BR (Burhanuddin/Pejabat Kejaksaan Agung) yang dimaksudkan Pinangki Sirna Malasari sebagai surat permohonan fatwa Mahkamah Agung (MA) dari Pengacara kepada Kejaksaan Agung untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
Penanggung jawab action plan ini adalah IR (Andi Irfan Jaya) dan AK (Dr. Anita Kolopaking) yang akan dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 2020 sampai dengan 25 Februari 2020.
Action plan ketiga adalah BR (Burhanuddin/Pejabat Kejaksaan Agung) mengirimkan surat kepada HA (Hatta Ali/Pejabat Mahkamah Agung).
Pinangki menurut jaksa menyebutnya sebagai tindak lanjut surat dari pengacara tentang permohonan Fatwa Mahkamah Agung. Penanggung jawab Action plan ini adalah IR (Andi Irfan Jaya) dan P (Pinangki, terdakwa) yang akan dilaksanakan pada tanggal 26 Februari 2020 sampai dengan 1 Maret 2020.
Sementara action plan keenam adalah HA (Hatta Ali/Pejabat Mahkamah Agung) menjawab surat BR (Burhanuddin/Pejabat Kejaksaan Agung). Yang dimaksudkan terdakwa adalah jawaban surat MA atas surat Kejagung tentang permohonan fatwa MA. Penanggung jawab action plan HA (Hatta Ali/Pejabat MA)/DK (belum diketahui) dan AK (Anita Kolopaking) yang akan dilaksanakan 6-16 Maret 2020.
Action plan ketujuh adalah BR (Burhanuddin/Pejabat Kejaksaan Agung) menerbitkan instruksi terkait surat HA (Hatta Ali/Pejabat Mahkamah Agung), yang dimaksudkah oleh Terdakwa adalah Kejaksaan Agung menginstruksikan kepada bawahannya untuk melaksanakan Fatwa Mahkamah Agung. Penanggungjawab Action ini adalah IF (belum diketahui)/P (Pinangki/terdakwa), yang akan dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2020 sampai dengan 26 Maret 2020.
Dalam dakwaan ini disebutkan, tidak ada satu pun action plan yang terealisasi. Padahal Joko Tjandra sudah memberikan uang muka pada Pinangki sebesar 500 ribu dolar AS atau setara Rp7,5 miliar.
Adapun jaksa Pinangki didakwa dalam tiga perkara. Pertama, jaksa Pinangki didakwa menerima 500 ribu dolar AS sebagai uang muka (down payment) pengurusan fatwa Mahkamah Agung agar Joko Tjandra bisa bebas dari hukuman pidana penjara terkait kasus pengalihan hak tagih Bank Bali.
Dakwaan kedua, jaksa Pinangki didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang. Menurut jaksa, Pinangki menerima 500 ribu dolar AS dari Joko Tjandra lewat Andi Irfan Jaya. Sebesar 50 ribu dolar AS diserahkan ke Anita Dewi Kolopaking seorang pengacara. Sisa uang 450 ribu dolar AS ini yang didakwa jaksa dilakukan pencucian uang.
Sedangkan dakwaan ketiga, jaksa Pinangki didakwa bermufakat jahat bersama Andi Irfan Jaya dan Joko Tjandra untuk memberikan uang ke pejabat Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Jumlah uang yang dijanjikan dalam permufakatan jahat ini sebesar 10 juta dolar AS