ICW: Ada Empat Hal yang Hilang dari Dakwaan Jaksa Pinangki
Jaksa Pinangki Sirna Malasari (Foto: Indra Hendriana/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Dakwaan Pinangki Sirna Malasari atau Jaksa Pinangki sudah dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta namun Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai dakwaan itu masih belum menjawab beberapa hal. Bahkan mereka menyebut ada hal yang hilang dari dakwaan tersebut.

"ICW meragukan kelengkapan berkas Kejaksaan Agung ketika melimpahkan perkara yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari ke Pengadilan Tipikor karena setidaknya ada empat hal yang terlihat hilang dalam penanganan perkara tersebut," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Kamis, 24 September.

Pertama, dia menyoroti soal pembicaraan saat Jaksa Pinangki menemui Djoko Tjandra di Malaysia yang tidak diungkap oleh jaksa penuntut. Padahal, hal ini penting untuk didalami karena buronan kelas kakap seperti Djoko Tjandra dapat menaruh kepercayaan terhadap Pinangki, jaksa yang tidak memiliki jabatan penting di Kejaksaan Agung.

Kurnia meyakini, Djoko tak mungkin percaya begitu saja dengan Pinangki karena sebagai penjahat kelas kakap, tentunya dia akan curiga kepada siapapun yang ditemuinya kecuali ada pihak lain di belakang Pinangki.

Poin kedua, Kurnia menyoroti action plan Jaksa Pinangki untuk membebaskan Djoko Tjandra dari jeratan hukum. "Jaksa Penuntut Umum belum menjelaskan apa saja langkah yang sudah dilakukan oleh Pinangki dalam rangka menyukseskan action plan," tegasnya.

Hal ketiga yang hilang dari dakwaan tersebut adalah jaksa belum menyampaikan siapa saja yang menjadi jaringan langsung Pinangki di Mahkamah Agung. Selain itu, tak dijelaskan juga apa saja upaya yang dilakukan jaksa untuk memperoleh fatwa Mahkamah Agung tersebut.

Apalagi, fatwa hanya dapat diperoleh berdasarkan permintaan lembaga negara sementara jabatan Pinangki yang hanya menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan.

"Mustahil (Jaksa Pinangki, red) dapat mengurus fatwa yang nantinya kemudian diajukan oleh Kejaksaan Agung secara kelembagaan," ungkap dia.

Keempat, Kurnia melihat dakwaan itu juga belum memberikan informasi mengenai rencana pengurusan fatwa di Mahkamah Agung. 

"Pinangki bergerak sendiri atau ada jaksa lain yang membantu? Sebab, untuk memperoleh fatwa tersebut ada banyak hal yang mesti dilakukan, selain kajian secara hukum, pasti dibutuhkan sosialiasi agar nantinya MA yakin saat mengeluarkan fatwa," jelasnya.

Selanjutnya, Kurnia juga mempertanyakan Kejaksaan Agung mengenai proses pelimpahan surat dakwaan Jaksa Pinangki. "Apakah proses pelimpahan perkara ke Pengadilan Tipikor dilakukan atas koordinasi terlebih dahulu?" tanyanya.

Pertanyaan ini muncul sebab KPK telah mengeluarkan surat perintah supervisi sejak awal September. Sehingga secara etika kelembagaan, Korps Adhyaksa itu harusnya berkoordinasi dengan lembaga antirasuah sebelum pelimpahan perkara.

"Bahkan Pasal 10 ayat (1) UU 19 tahun 2019 telah menegaskan bahwa dalam melakukan tugas supervisi KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yarrg berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," pungkasnya.