Lemhanas Nilai Polemik Komunis atau PKI Menguras Pikiran Generasi Muda Bangsa
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen TNI (purn) Agus Widjojo menilai polemik tentang komunisme atau PKI yang menguat setiap tahun jelang 30 September hanya menguras serta mengorbankan tenaga dan pikiran generasi muda Bangsa.

"Bahwa wabah kebangkitan komunisme sulit tidak diakui untuk hadir setiap tahun menjelang tanggal 30 September atau 1 Oktober. Karena kemunculan berulang pada saat yang tetap itu, sulit dipungkiri bahwa isu tersebut sengaja dimunculkan untuk kepentingan politik," kata Agus dalam webinar tentang 'Penggalian Fosil Komunisme untuk Kepentingan Politik?' yang digelar Political and Public Policy Studies (P3S), di Jakarta, dilansir Antara, Selasa, 29 September. 

Hadir narasumber Direktur Eksekutif Amnesty Usman Hamid, Direktur Eksekutif P3S Jerry Massie, Direktur Eksekutif LKIP Eduard Lemanto, Peneliti Senior CSIS J Kristiadi, dan moderator Frederik Bios.

Seharusnya, lanjut dia, generasi muda bangsa bisa memberikan tenaganya untuk efektivitas usaha pembangunan nasional.

Dia menyadari sejarah tentang PKI atau komunisme tidak bisa dihilangkan karena berhubungan dengan pikiran orang yang sulit untuk ditebak.

Ada juga pengalaman perseorangan tentang PKI sehingga membuat tulisan, memoar buku, atau mengadakan pertemuan dengan teman senasib pada jaman dulu.

Di samping itu, ada juga yang menganggap dirinya anti-PKI merasa hal tersebut sebagai sebuah kebangkitan dari komunisme.

Agus mengingatkan konstitusi negara sudah sangat tegas dan jelas mengatur tentang larangan PKI. Tapi MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara sudah cukup kuat untuk mengebiri perseorangan atau paham komunis diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, memperdebatkan tentang PKI merupakan hal yang sia-sia dan hanya membawa bangsa ini jalan di tempat.

Polemik yang menguras waktu tenaga dan pikiran dari aset bangsa yang sebenarnya diperlukan meningkatkan efektivitas usaha pembangunan nasional. Terasa sekali apabila sebuah posting-an di sebuah media sosial ada provokatif direspons secara defensif oleh pihak yang berlawanan, maka proses balas membalas ini tidak ada habisnya.

"Dan terkadang juga argumentasi dari proses balas membalas posting-an itu sangat tidak logis dan hanya bersifat terkadang juga sindiran kepada pengirimnya dan keluar dari substansi," paparnya.

Dalam kesempatan itu, Agus menyebutkan paham komunis merupakan antitesis dari kapitalisme.

Komunisme bertujuan untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran dan pengungsian, sebagai sistem dari hasil masa lalu. Karena itu, Agus menyarankan untuk menghadapi kebangkitan komunisme lebih baik menghilangkan segala isu yang berkaitan tentang kemiskinan dan pengangguran.

"Jadi bisa dikatakan di samping kita kewaspadaan yang langsung kita tujukan kepada ideologi komunisme, yang paling penting dan lebih penting adalah bagaimana pembangunan kita itu bisa memberikan untuk mengatasi kemiskinan pengangguran pengungsian, dan lebih penting lagi adalah di antara rakyat," tuturnya.

Dia menganggap, sejarah bangsa tentang PKI tidak bisa disimpulkan sebagai bagian untuk memposisikan mana pihak yang salah dan mana yang benar. Agus juga mengingatkan jawaban tersebut juga tidak perlu proses akademik. Agus juga menilai mewarisi polemik itu hanya akan merugikan generasi muda.

"Polemik semacam ini yang tidak mengandung pengertian akademik intelektual, tetapi lebih bersifat politis untuk menghancurkan lawan," kata dia.