Bantah Bom Kota-kota di Ukraina, Rusia: Tidak Seperti AS dan NATO di Yugoslavia, Irak atau Afghanistan
Pemboman di Kota Mariupol. (Wikimedia Commons/mvs.gov.ua/Міністерство внутрішніх справ України)

Bagikan:

JAKARTA - Otoritas Rusia kembali membantah melakukan pemboman terhadap Ukraina, tidak menargetkan warga sipil, membandingkan dengan apa yang dilakukan Amerika Serikat dan NATO, sementara jumlah korban akibat serangan terus bertambah.

Invasi selama lebih dari sebulan, yang terbesar di negara Barat sejak Perang Dunia Kedua, telah menyebabkan lebih dari 3,8 juta orang melarikan diri ke luar negeri, menyebabkan ribuan orang tewas atau terluka, dan membawa isolasi ekonomi Rusia, mengutip Reuters 29 Maret.

Sementara, Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Nikolay Patrushev mengatakan, pihaknya dalam operasi militer khusus di Ukraina tidak membom kota-kota di Ukraina sejak invasi bulan lalu.

Lebih jauh, ia membandingkan dengan yang dilakukan Amerika Serikat dan NATO di Yugoslavia, Irak dan Afghanistan, menghancurkan lingkungan perumahan dengan orang-orang.

"Kami tidak membom kota-kota dan fasilitas sipil seperti yang dilakukan AS dan NATO di Yugoslavia, Irak atau Afghanistan, dengan kejam menghancurkan lingkungan perumahan dengan ribuan orang," katanya pada pertemuan dengan Noureddine Makri, kepala Direktorat Jenderal Dokumentasi dan Dokumentasi Aljazair.

Patrushev menjelaskan, bahwa sebagai bagian dari operasi militer khusus, "serangan, termasuk senjata presisi tinggi, dilakukan terhadap benteng utama, lapangan udara, tempat penyimpanan senjata, dan akumulasi peralatan militer tentara Ukraina."

Diberitakan sebelumnya, sejumlah kota di Ukraina mengklaim mengalami pemboman oleh Rusia, misalnya Mariupol, kota strategis yang dikepung Rusia dalam usahanya untuk menguasai kota tersebut.

Hampir 5.000 orang, termasuk sekitar 210 anak-anak, tewas di Kota Mariupol, Ukraina selatan, sejak pasukan Rusia mengepungnya, kata juru bicara wali kota, Senin.

Tidak segera jelas bagaimana Walikota Vadym Boichenko menghitung jumlah korban, selama satu bulam pemboman Rusia yang telah menghancurkan kota, menjebak puluhan ribu penduduk tanpa listrik dan dengan sedikit pasokan.

Kantor Boichenko mengatakan 90 persen bangunan Mariupol telah rusak dan 40 persn hancur, termasuk rumah sakit, sekolah, taman kanak-kanak dan pabrik.

Sekitar 140.000 orang telah meninggalkan kota di Laut Azov sebelum pengepungan Rusia dimulai dan 150.000 telah keluar sejak itu, meninggalkan 170.000 masih di sana, menurut angkanya, yang tidak dapat segera diverifikasi oleh Reuterst.

Boichenko, yang tidak lagi berada di Mariupol, mengatakan di televisi nasional pada Senin pagi, sekitar 160.000 warga sipil masih terjebak di kota itu.

"Orang-orang berada di luar garis bencana kemanusiaan. Kita harus mengevakuasi Mariupol sepenuhnya," ujarnya.

Diketahui, Mariupol secara luas dipandang sebagai hadiah strategis, karena menguasainya dapat memungkinkan Rusia untuk membuat jembatan darat antara Krimea, yang dianeksasi oleh Moskow pada 2014, dan dua kantong separatis di Ukraina timur.