Turki Nilai 'Barter' Rudal S-400 untuk Ukraina dengan Program Jet Tempur F-35 AS Tidak Realistis
Ilustrasi sitem pertahanan rudal S-400 Triumf. (Wikimedia Commons/Mil.ru/Ministry of Defence of the Russian Federation)

Bagikan:

JAKARTA - Turki telah menolak gagasan mengirim sistem pertahanan rudal S-400 Triumf buatan Rusia ke Ukraina, untuk membantu negara ini menghadapi invasi Moskow, dengan imbalan Turki kembali masuk dalam program jet tempur F-35 dari Amerika Serikat.

"Meskipun tidak realistis saat ini, ide ini menghadirkan kesempatan untuk membahas masalah yang Turki alami akhir-akhir ini dengan Barat,” kata Direktur Komunikasi Fahrettin Altun, mengutip Daily Sabah dari Wall Street Journal 24 Maret.

Laporan selama seminggu terakhir menyebutkan, Amerika Serikat secara informal mengajukan penawaran kepada Turki, untuk mengirimkan sistem pertahanan rudal S-400 ke Ukraina, untuk menangkis invasi Rusia.

Altun juga mengutip artikel yang diterbitkan minggu lalu, yang menyatakan kesepakatan transfer tersebut mengarah pada perbaikan hubungan antara Washington dengan Ankara.

Dikatakannya, proposal informal tidak akan memperbaiki hubungan, mendesak Barat dan AS untuk mengirim jet tempur F-35 dan baterai Patriot ke Ankara tanpa syarat.

f-35
Ilustrasi jet tempur F-35. (Wikimedia Commons/USA Air Force)

Sementara itu, Kepala Kepresidenan Industri Pertahanan (SSB) Ismail Demir mengatakan, Turki tidak berencana untuk meninggalkan sistem S-400, yang telah menjadi titik pertikaian lama antara dua sekutu NATO. Menurutnya, Turki mampu menentukan kebijakannya sendiri.

"Ini bukan bahan diskusi bagi kami. Kami membahas masalah ini di masa lalu. Meninggalkan (penggunaan S-400) tidak mungkin," tegas Demir kepada surat kabar Izvestia yang berbasis di Rusia.

Diketahui, Ankara awalnya memesan lebih dari 100 jet F-35, yang dibuat oleh Lockheed Martin Corp., Tetapi, AS menghapus Turki dari program tersebut pada 2019 setelah mengakuisisi sistem S-400 dari Rusia.

Turki telah menyebut langkah itu tidak adil dan menuntut penggantian untuk pembayaran 1,4 miliar dolar AS. Tak hanya itu, pembelian S-400 oleh Turki juga memicu sanksi AS. Pada Desember 2020, Washington memasukkan Demir SSB ke daftar hitam dan tiga karyawan lainnya.

Washington berpendapat, sistem rudal udara S-400 dapat digunakan oleh Rusia untuk secara diam-diam mendapatkan rincian rahasia tentang jet F-35, menilai sistem tersebut tidak kompatibel dengan sistem NATO.

rudal patriot
Ilustrasi Rudal Patriot. (Wikimedia Commons/Darkone)

Sementara, Turki menegaskan S-400 tidak akan diintegrasikan ke dalam sistem NATO dan tidak akan menimbulkan ancaman bagi aliansi.

Altun sendiri mengkritik keputusan AS tentang pilihan Ankara untuk membeli sistem pertahanan rudal udara, dengan mengatakan mereka mengabaikan Ankara adalah yang pertama mendekati AS untuk pengadaan sistem Patriot.

"Mengingat Turki berada di salah satu wilayah paling berbahaya dan tidak stabil di dunia, dan ancaman yang dihadapi Turki tidak hilang secara ajaib dengan penolakan Washington, Ankara harus mencari alternatif," terang Altun, mengingat mantan Presiden AS Donald Trump mengakui masalah tersebut.

"Turki tidak punya pilihan untuk membeli Patriot. Turki masih ingat bagaimana sekutu kami menarik baterai Patriot dari Turki, selama beberapa periode paling tegang dalam hubungan Turki-Rusia. Berdasarkan pengalaman, rakyat Turki tidak lagi menganggap serius janji informal apa pun oleh Barat untuk memasok Patriot," ungkap Altun.

"Penghapusan yang melanggar hukum Turki dari program F-35 karena pertimbangan politik (yang AS belum secara resmi dan sah memberi tahu Turki), membuat sulit untuk menganggap serius 'pemulihan kembali Turki,'" tukasnya.

Altun juga mengatakan, adalah tanggung jawab Barat dan AS untuk menormalkan hubungan dengan Turki.

"Krisis Ukraina telah menunjukkan, penilaian geopolitik dari mereka yang meremehkan kepentingan strategis Turki, mengklaim NATO ‘mati otak’ dan berpikir perbatasan nasional tidak lagi menjadi bahan diskusi adalah salah arah," tulis Altun.

Turki mengharapkan untuk diperlakukan oleh Barat sebagaimana mestinya, kata Altun, menambahkan: "Ini akan membutuhkan langkah-langkah membangun kepercayaan, bukan yang disebut proposal informal, untuk memperbaiki hubungan."