Bagikan:

JAKARTA - Hampir 5.000 orang, termasuk sekitar 210 anak-anak, tewas di kota Mariupol, Ukraina selatan, sejak pasukan Rusia mengepungnya, kata juru bicara wali kota, Senin.

Tidak segera jelas bagaimana Walikota Vadym Boichenko menghitung jumlah korban, selama satu bulan pemboman Rusia yang telah menghancurkan kota, menjebak puluhan ribu penduduk tanpa listrik dan dengan sedikit pasokan.

Kantor Boichenko mengatakan 90 persen bangunan Mariupol telah rusak dan 40 persn hancur, termasuk rumah sakit, sekolah, taman kanak-kanak dan pabrik.

Sekitar 140.000 orang telah meninggalkan kota di Laut Azov sebelum pengepungan Rusia dimulai dan 150.000 telah keluar sejak itu, meninggalkan 170.000 masih di sana, menurut angkanya, yang tidak dapat segera diverifikasi oleh Reuters, seperti dikutip 29 Maret.

Boichenko, yang tidak lagi berada di Mariupol, mengatakan di televisi nasional pada Senin pagi, sekitar 160.000 warga sipil masih terjebak di kota itu.

"Orang-orang berada di luar garis bencana kemanusiaan. Kita harus mengevakuasi Mariupol sepenuhnya," ujarnya.

Ukraina mengatakan tidak mungkin untuk membuat koridor yang aman pada hari Senin, mengutip laporan intelijen tentang kemungkinan 'provokasi' Rusia di sepanjang rute.

Rusia, yang menginvasi Ukraina pada 24 Februari, membantah menargetkan warga sipil dan menyalahkan Ukraina atas kegagalan berulang kali, untuk menyepakati koridor yang aman bagi penduduk yang terjebak.

"Federasi Rusia sedang bermain dengan kami. Kami berada di tangan penjajah," sindir Boichenko.

Mariupol secara luas dipandang sebagai hadiah strategis, karena menguasainya dapat memungkinkan Rusia untuk membuat jembatan darat antara Krimea, yang dianeksasi oleh Moskow pada 2014, dan dua kantong separatis di Ukraina timur.

mariuopol
Gedung Teater Drama di Mariupol hancur terkena serangan Rusia. (Wikimedia Commons/Донецька обласна військова адміністрація)

Orang-orang yang telah melarikan diri dari Mariupol menggambarkan, betapa sulitnya hidup selama berminggu-minggu di bawah pemboman yang hampir konstan.

"Tidak ada makanan untuk anak-anak, terutama bayi. Mereka melahirkan bayi di ruang bawah tanah karena perempuan tidak punya tempat untuk melahirkan, semua rumah sakit bersalin hancur," seorang pekerja bahan makanan dari Mariupol yang hanya menyebut namanya sebagai Nataliia mengatakan kepada Reuters setelah mencapai Zaporizhzhia di dekatnya.

"Saya juga menemukan hari ini bahwa orang tua teman sekelas putra saya tercabik-cabik tepat di halaman di depan matanya," sambungnya.

Dia mengatakan, warga yang terperangkap telah menghabiskan waktu mencari salju yang bisa mereka cairkan untuk mendapatkan air untuk mencuci tangan.

Terpisah, Valeriia, seorang mahasiswa 20 tahun dari Mariupol, mengatakan listrik, akses internet, air dan pemanas telah terputus pada 2 Maret. Segera setelah itu, pertempuran sengit pecah di dekatnya dan sebagian rumahnya hancur.

"Penembakan terus-menerus, penembakan. Kami duduk di koridor, kami tidak tidur atau makan dengan benar selama beberapa hari. Karena begitu Anda keluar dari sana, penembakan dimulai dan Anda lari kembali," ungkapnya getir.

Dia dan saudara perempuannya diberi tumpangan ke luar kota oleh warga lain yang melarikan diri dengan mobil pribadi. Mereka meninggalkan orang tua mereka.

Adapun Sergiy, seorang pekerja pabrik metalurgi, mengingat roket Grad yang menghantam gedung-gedung dan orang-orang terbunuh.

"Ada seorang pria yang lewat, Grad ini, kedengarannya sinis, mengenainya dan membuat tubuhnya tercabik-cabik. Saya melihat mayat tergeletak di sekitar kota, Anda bisa melihat tambang meledak dan pecahan peluru menghantam orang," tuturnya.

Sengitnya perlawanan di Mariupol dan gigihnya usaha Rusia, menggambarkan betapa strategisnya kota tersebut. Rusia sempat meminta perlawanan dihentikan dan pasukan Ukraina meletakkan senjata, hal yang ditentang dan keengganan 'menyerahkan Mariupol.

Beberapa waktu lalu, Presiden Zelensky menyebut pengepungan Mariupol sebagai kejahatan perang dan "teror yang akan diingat selama berabad-abad yang akan datang."