Pakar UGM: Tidak Ada Negara Demokrasi yang Bermain dengan Masa Jabatan Presiden
Ilustrasi pemilihan umum (pemilu). (Antaranews)

Bagikan:

JAKARTA - Wacana masa jabatan presiden diperpanjang masih terus digaungkan segelintir elite politik. Bahkan di hadapan publik, mereka tak malu terus mencoba "menggoda" petinggi partai lain agar memuluskan gagasan pemilihan umum (Pemilu) 2024 ditunda melalui amandemen UUD 1945.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan, sejarah tidak pernah mencatat negara demokrasi pernah merusak konstitusi dengan mengubah masa jabatan presiden.

"Tidak ada negara demokrasi yang gemar bermain-main dengan masa jabatan," tegas Zainal dalam diskusi bertajuk 'Demokrasi Konstitusional Dalam Ancaman', Rabu 16 Maret.

Dia menjelaskan, perpanjangan masa jabatan presiden dengan mengubah konstitusi biasanya dilakukan negara yang menganut otoritarianisme. Sistem negara tersebut, kata dia, biasanya memusatkan kekuasaan pemerintahan di tangan satu pemimpin, atau segelintir elite politik.

"Biasanya contoh-contoh negara yang kesannya jauh dari demokrasi, misalnya Venezuela, Turki, Rusia, misalnya beberapa negara-negara Afrika Sub-Sahara yang mendorong jabatan ketiga periodeaan," tuturnya.

Negara yang berhasil merombak konstitusi dengan memperpanjang masa jabatan presiden juga tidak terlepas dari gangguan-gangguan politik. Dia mengingatkan situasi itu bisa dialami Indonesia apabila mengubah jabatan presiden menjadi tiga periode.

"Kemungkinan Guinea yang akhirnya memperpanjang masa jabatan, yang ujungnya dikudeta militer. Jadi maksud saya, bermain-main dengan masa jabatan, Indonesia bisa masuk ke skenario yang tidak menguntungkan," imbuhnya.

Zainal menegaskan, memperpanjang masa jabatan presiden sama dengan merusak konstitusi. Sosok atau kelompok yang berupaya melakukannya pantas dicap teroris konstitusi.

Menurut Zainal, mereka yang bermain dengan amanah rakyat tentang batas periode kepala negara berkuasa sedang berhadapan sistem negara demokrasi.

"Siapa saja yang mau merusak konstitusi dan konstitusionalisme yang ada sekarang demi kepentingan pribadi atau kepentingan kelompoknya, memperpanjang dirinya, atau memperpanjang masa jabatan, saya akan mengatakan ini bagian dari teroris konstitusi," ujar Zainal.