JAKARTA - Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai suara mayoritas netizen yang dipertanyakan kebenarannya bisa dijadikan pijakan untuk mengubah konstitusi agar Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ditunda.
Suara netizen itu sebelumnya diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengklaim, ada big data berisi 110 juta netizen Twitter ingin Pemilu 2024 ditunda.
Menurut Bivitri, klaim Luhut itu masih belum valid. Luhut belum membeberkan sumber big data yang diklaimnya itu sehingga kebenaran dan hipotesis yang diambil belum tentu tepat.
"Tidak selamanya klaim mayoritas, apalagi mayoritasnya netizen dan metodenya bisa diperdebatkan, itu bisa digunakan untuk menginjak-injak konstitusi. Nah, saya kira itulah kita harus bergerak bersama-sama supaya kita jangan dibodoh-bodohi terus," kata Bivitri dalam diskusi bertajuk 'Demokrasi Konstitusional Dalam Ancaman', Rabu 16 Maret.
Lebih lanjut, Bivitri mengatakan, pihak-pihak yang ingin memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu memakai alasan Pemilu 2024 mengganggu kebangkitan perekonomian pasca-dihantam pandemi COVID-19. Baginya, yang terpenting, menegakkan konstitusi agar tidak menjadi preseden buruk di masa depan.
"Ngapain 2045 kita udah bicara Indonesia industri 4.0, 2045 katanya ada bonus demografi, tapi kalau kita, adik-adik kita, anak cucu kita dibodoh-bodohi dengan cara ini, apa yang mau dicapai nanti 2025? Logika kita dibolak-balik sembarangan dan dinyatakan oleh penguasa yang seakan-akan dengan mulutnya maka semua menjadi benar," tuturnya.
BACA JUGA:
Bivitri mengingatkan mengubah masa jabatan presiden menjadi lebih dari dua periode merupakan upaya pemaksaan. Ada kecenderungan saat ini, kata dia, apabila tindakannya salah maka peraturannya dipaksa untuk diubah.
"Mungkin ingat peristiwa Rektor UI, PP-nya yang diubah. Nah, jangan sampai sekarang ada sesuatu yang inkonstitusional, tapi konstitusinya yang diubah," tegasnya.
Dalam kesempatan sama, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan, sejarah tidak pernah mencatat negara demokrasi pernah merusak konstitusi dengan mengubah masa jabatan presiden.
Dia menjelaskan, perpanjangan masa jabatan presiden dengan mengubah konstitusi biasanya dianut negara otoritarianisme. Ideologi yang dianut negara tersebut biasanya otoriter, kekuasaan absolut dipegang oleh pemerintahan atau segelintir elite politik.
"Tidak ada negara demokrasi yang gemar bermain-main dengan masa jabatan, biasanya contoh-contoh negara yang [menganut] jauh dari demokrasi. Misalnya, Venezuela, Turki, Rusia, dan beberapa negara-negara Afrika Sub-Sahara yang mendorong jabatan ketiga periodean," tandasnya.