Bagikan:

JAKARTA – Big data yang diajukan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebagai pembenaran klaimnya bahwa mayoritas netizen di Tanah Air, saat ini, ingin pemilu ditunda, pantas dipertanyakan.

Bukan saja karena Luhut tak mau mengungkapkan isi  big data yang diklaimnya berisi suara 110 juta pengguna media sosial, namun juga tentang bagaimana data tersebut diinterpretasikan dan diuji dalam berbagai metode sehingga kesimpulan yang diambil tepat. Seperti menghasilkan kesimpulan jika mayoritas netizen di Indonesia lebih setuju jika pemilu ditunda.

Menurut Alva Erwin, dosen mata kuliah data mining dari Swiss German University, dalam mengambil kesimpulan tentang big data tersebut harus hati-hati.

“Sebaiknya kita tidak mengambil kesimpulan dari satu sumber saja. Dalam metode riset idealnya dilakukan cross check,” kata Erwin. “Pengambilan kesimpulan idealnya diambil dari beberapa sumber sehingga akurasinya dapat diterima.”

Dalam kasus Luhut, bagaimana ia mengambil kesimpulan dari big data yang konon ia miliki juga belum jelas, karena sang menteri ogah menjelaskan lebih lanjut data yang dimilikinya.

“Saya kira dalam mengambil kesimpulan tentang big data juga perlu diverifikasi. Saya tidak tahu bagaimana metode beliau (Luhut) dalam mengambil kesimpulan. Namun semua itu sebaiknya dilakukan verifikasi dan cross-check,” kata Erwin.

Hanya sayang Luhut juga tak pernah menjelaskan apakah big data dan kesimpulannya ini sudah dilakukan verifikasi

Big data sendiri menurut Erwin adalah kumpulan data besar, sehingga sulit diolah dengan infrastruktur yang dimiliki. Karakteristik dari big data itu ada empat, volume, velocity, variety, veracity.

Volume apa bila datanya memang sangat besar dan sulit untuk diolah. Velocity, karena kecepatan data itu sendiri saat muncul. Variety, adalah jenis dan macam data tersebut yang kompleks. Veracity,  unsur benar atau tidak benar data tersebut. Kemudian ada  pula, data terstuktur , semi tersrtuktur dan  tidak terstruktur.

“Tidak ada ukuran yang jelas, dari besarnya Big Data ini. Sekumpulan data, apabila itu sulit diproses dengan infrastruktur yang dimiliki, maka bisa dianggap sebagai big data,” kata Erwin.

Big data ini bisa didapat dalam percakapan di media sosial, Twitter, Facebook, Instagram dan lain-lain. Begitu pula data pemberitaan di media online, radio, televisi dan komentar-komentarnya bisa menjadi salah satu sumber untuk menjadi big data.

“Saya tidak tahu dari mana Pak Luhut mendapatkan big data tersebut, mungkin beliau punya tim dan akses ke media  sosial. Namun  dalam mengambil kesimpulan, sebaiknya dilakukan cross check agar lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan validitasnya,” ungkap Erwin.