Pemulihan Kesepakatan Nuklir Iran Bisa Jadikan Timur Tengah Lebih Keras, PM Bennett: Israel Pertahankan Kebebasan Bertindak
PM Israel Naftali Bennett. (Wikimedia Commons/Israeli Defence Forces Spokesperson's Unit)

Bagikan:

JAKARTA - Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengatakan pada Hari Minggu, kesepakatan Amerika Serikat dengan Iran yang terbentuk untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir Iran 2015 dengan kekuatan dunia, lebih lemah daripada pengaturan asli dan akan mengarah ke Timur Tengah yang lebih keras.

Kesepakatan 2015 membatasi pengayaan uranium Iran untuk mempersulit Teheran mengembangkan bahan untuk senjata nuklir, dengan imbalan pencabutan sanksi internasional terhadap Teheran.

Tapi itu telah terkikis sejak 2018, ketika Presiden Donald Trump saat itu menarik Amerika Serikat dan menerapkan kembali sanksi yang luas terhadap Iran.

"Kesepakatan yang muncul, tampaknya, sangat mungkin untuk menciptakan Timur Tengah yang lebih keras dan lebih bergejolak," ujar PM Bennett dalam pidatonya di Yerusalem kepada para pemimpin Yahudi Amerika, melansir Reuters 21 Februari.

Tujuan dari pembicaraan nuklir di Wina, Austria adalah untuk kembali ke tawaran awal guna mencabut sanksi terhadap Iran, sebagai imbalan atas pembatasan kegiatan nuklirnya yang memperpanjang waktu yang diperlukan untuk memproduksi uranium yang diperkaya, yang cukup untuk sebuah bom atom jika ia mau.

Iran sendiri melalui sejumlah pemimpinnya berulang kali mengatakan ambisi nuklirnya adalah untuk tujuan damai.

PM Bennett mengatakan masalah terbesar dalam negosiasi saat ini adalah kemungkinan waktu yang lebih pendek, dua setengah tahun, sebelum Iran dapat dengan bebas mengoperasikan sentrifugal canggih, karena garis waktu asli mungkin tidak diperpanjang.

"Israel tidak akan menerima Iran sebagai negara ambang nuklir," katanya, mengulangi posisi lama, di Konferensi Presiden Organisasi Besar Yahudi Amerika.

"Israel akan selalu mempertahankan kebebasan bertindak untuk membela diri," pungkas PM Bennett.