Bagikan:

JAKARTA - Iran sangat dekat untuk mendapatkan bom nuklir, tetapi dapat dihentikan jika Barat 'sadar' akan ancaman itu, kata Perdana Menteri Israel Naftali Bennett.

Ketegangan antara Iran dan Barat telah meningkat pada minggu lalu, setelah inspektur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) PBB menemukan, para pejabat telah mematikan kamera inspeksi di sebuah pembangkit nuklir.

Kekhawatiran atas kepemilikan senjata nuklir Teheran, sebuah langkah yang akan mengacaukan Timur Tengah, muncul setelah pembicaraan terhenti untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir setelah invasi Rusia ke Ukraina.

Dalam sebuah wawancara dengan The Daily Telegraph akhir pekan lalu, PM Bennett mengatakan, tanpa tekanan yang kuat, Iran akan segera mendapatkan bom.

"Iran memperkaya uranium pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan bergerak sangat dekat untuk mendapatkan senjata nuklir," katanya, melansir The National News 13 Juni.

PM Bennett, yang melakukan kunjungan resmi keduanya ke Abu Dhabi pada Kamis sejak UEA dan Israel menormalkan hubungan pada 2020, mendesak kekuatan Barat untuk mencegah Iran membangun bom nuklir.

"Dunia harus mengambil sikap tegas dan memberi tahu rezim Islam di Iran: tidak ada nuklir, tidak ada sanksi. Program nuklir Iran tidak akan berhenti sampai dihentikan," tegasnya.

Diketahui, PM Bennett membuat kejutan dengan kunjungan sehari penuh ke UEA untuk menemui Presiden Sheikh Mohamed, serta tokoh terkemuka lainnya untuk membahas masalah keamanan.

Para pejabat Israel telah mengindikasikan, dengan konflik Ukraina mengambil perhatian yang cukup besar, Barat baru sekarang 'bangun' akan ancaman Iran menjadi kekuatan nuklir.

Sementara, Iran telah membantah membuat senjata nuklir, kendati mereka mulai memperkaya uranium hingga lebih dari 60 persen, cukup untuk sebuah bom nuklir.

Tak hanya itu, Israel dikatakan telah meminta Inggris untuk mempertimbangkan memperkenalkan mekanisme 'tripwire' dari sanksi yang semakin keras, untuk memberikan tekanan yang lebih besar pada Iran jika terus mengaya uranium.

Ada kemungkinan, pembatasan ekonomi yang ketat yang diterapkan pada Rusia setelah invasi ilegalnya ke Ukraina, dapat mempengaruhi pemikiran Teheran.

Diketahui, Iran melanjutkan program nuklirnya, setelah Amerika Serikat di bawah pimpinan Donald Trump menarik diri dari Kesepakata Nuklir 2015 tahun 2018. Presiden Joe Biden bersumpah untuk mneghidupkan kembali kesepakatan tersebut.