Bagikan:

JAKARTA - Dosen Universitas Indonesia Ade Armando ikut buka suara menyikapi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menghukum Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeruk total Kali Mampang.

Menurut Ade, dengan APBD fantastis Rp80 triliun, Anie dan jajarannya harusnya mampu menggarap program yang baik untuk mengantisipasi banjir Jakarta. 

Sayangnya, menurut Ade, Anies lebih 'sibuk' menata kata-kata mengurus hal-hal yang bukan prioritas bagi warga DKI.

"Di masa kampanye Anies memang bilang banjir bukan bencana alam, ini soal manajemen volume air tapi nyatanya dia tidak pernah menerapkan manajemen arus air dengan terencana dan sistematis," kata Ade Armando dilansir lewat Youtube CokroTV, Minggu, 20 Februari.

Menurut Ade, pendahulu Anies seperti Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah melakukan pengendalian atau mengatasi banjir Jakarta lewat program-program yang baik. 

Misalnya, melakukan normalisasi sungai dengan melebarkan DAS agar air segera mengalir ke laut, pengerukan sungai dan pembangunan turap secara berkejlanjutan. Warga yang tinggal di bantaran sungai juga diminta pindah ke rumah susun dengan skema penyewaaan yang terjangkau. Sayangnya, strategi ini tidak diikuti oleh Anies. 

Saat kampanye lalu, Anies malah 'melecehkan' program ini dengan dalih melawan Sunnatullah. Di seluruh dunia, kata Anies, air dari langit itu seharusnya diserap ke bumi bukan dialirkan ke laut. Karena itu yang dibangun seharusnya bukan gorong-gorong raksasa tetapi memastikan air dengan segera terserap ke tanah. 

"Untuk itu Anies bilang dia akan melakukan program naturalisasi sungai. Masalahnya itu terhenti di kata-kata, kita tidak pernah melihat Pemprov DKI menerapkan naturalisasi sungai, bicara tentang program menghidupkan ekosistem sungai waduk dan mengembangkan tanaman di tepi sungai. Anies menjelaskan bahwa naturalisasi berarti menggantikan dinding sungai dari beton menjadi kawasan hijau untuk melindungi ekosistem tapi semua serba tidak jelas tidak ada eksekusinya secara berkelanjutan," kritik Ade.

Ade menyebut salah satu bukti bahwa Anies tidak menganggap banjir Jakarta persoalan urgen ketika 2019 lalu memotong anggaran penanggulangan banjir dari Rp850 miliar menjadi Rp350 miliar.

"Jadi bisa dipahami bahwa ketika hujan turun lebat Jakarta terendam.  Celakanya ini seperti tidak memberi pelajaran apa-apa setelah banjir besar 2020-2021. Anies tidak juga menyiapkan langkah untuk mencegah agar jangan sampai petaka kembali terulang," kata Ade.