Bagikan:

JAKARTA - Laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan masyarakat adat merespon pandemi COVID-19 secara beragam.

"Dalam laporan yang menggunakan pendekatan kualitatif melalui observasi, wawancara tatap muka, wawancara melalui telepon, online survei, dan pencatatan informasi dari mitra yang ada di lapangan, tercatat bahwa masyarakat adat di Indonesia merespon pandemi ini dengan cara beragam, sesuai dengan karakteristik, pengetahuan, dan pengalaman mereka yang juga berbeda-beda," ucap Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) Kemendikbudristek, Sjamsul Hadi, dalam keterangannya, Selasa 15 Februari dikutip dari Antara.

Meski COVID-19 merupakan penyakit baru, namun sebagian masyarakat adat telah memiliki pengetahuan tentang penyakit menular yang pernah dialami sebelumnya, sehingga bersikap lebih hati-hati.

Misalnya masyarakat adat Punan Tubu di Kalimantan yang telah mengenal wabah sebagai kelapit, yang dicirikan dengan orang sehat yang hari ini sakit dan besok bisa mati. Untuk menghindari penularan, warga diajarkan segera menjauh ke dalam hutan dan tinggal terpisah dalam kelompok-kelompok kecil yang hanya terdiri dari keluarga inti. Sedangkan mereka yang sakit akan ditinggalkan di satu tempat khusus yang telah ditandai.

Hal yang sama juga dilakukan masyarakat adat Topo Uma di Sulawesi Tengah. Mereka telah memiliki pengetahuan lokal tentang penyakit menular yang terintegrasi dalam pola ruang dan perkampungan. Jarak antardesa di wilayah adat ini relatif jauh, selain itu tiap keluarga memiliki polompua, semacam rumah kebun yang bisa jadi tempat mengasingkan diri sembari menjalankan kegiatan berkebun.

Tradisi masuk dan menjauh ke dalam hutan juga dipraktikkan oleh Orang Rimba di Bukit Dua belas, Jambi. Orang Rimba menyebut tradisi itu sebagai besesandingon, yang mana mereka akan masuk ke hutan dan menetap dalam waktu tertentu di sana. Selama masa besesandingon itu, Orang Rimba juga melarang orang asing atau luar masuk.

“Ini semacam cara Orang Rimba untuk mencegah penularan penyakit. Sayangnya, tradisi masuk ke hutan yang dijalankan oleh masyarakat adat Punan Tubu (Kalimantan), Topo Uma (Sulawesi Tengah), dan Orang Rimba (Jambi) ini semakin hari semakin sulit untuk dijalankan karena mereka kehilangan banyak wilayah hutan adat yang semula menjadi tujuan dan tumpuan untuk berburu dan hidup berpindah-pindah,” terang dia.

Bagi masyarakat adat yang tinggal menetap dan wilayah ulayat, seperti Baduy di Banten, respon mereka terhadap pandemi dilakukan dengan cara menutup atau memperketat pintu masuk ke wilayah mereka. Sejak pandemi, Baduy Dalam sangat membatasi kedatangan orang luar, sehingga mereka mampu menjaga kampung mereka bebas dari kasus COVID-19.

Karantina wilayah serupa juga dilakukan masyarakat adat Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, yang menutup desa dari kunjungan orang luar dan meminta agar raja menutup sementara rumah raja dari kunjungan tamu, serta menerapkan protokol kesehatan seperti menggunakan masker untuk warga suku Boti.

"Catatan penting dari keberhasilan karantina wilayah adat seperti di Baduy dan Boti ini adalah karena mereka memiliki kepemimpinan, modal sosial dan ketahanan pangan yang kuat serta mampu menopang kebutuhan mereka selama pandemi.”

Namun sebagian masyarakat adat beranggapan bahwa wabah COVID-19 tidak akan melanda, bahkan cenderung menyangkal risikonya. Mereka beranggapan bahwa COVID-19 merupakan penyakit orang kota yang tidak mungkin berdampak ke mereka. Persepsi semacam itu ada pada masyarakat adat di di Nusak Dengka, Desa Oelua Kecamatan Rote Barat Laut, Kabupaten Rote Ndao. Masyarakat percaya adanya COVID-19 namun mereka percaya bahwa virus tersebut tidak sampai ke komunitasnya. Sehingga mereka tetap melakukan aktivitas sosial dan ekonomi seperti biasanya.

Bagi masyarakat adat yang terbuka dan semi-tertutup, seperti di Rote Ndao, Baduy Luar, Osing, dan lain-lain, maka upaya mitigasi yang perlu dilakukan adalah mitigasi kesehatan, sosial ekonomi, dan budaya yang lebih terintegrasi. Permasalahan yang dihadapi masyarakat adat terbuka lebih kompleks karena mereka tidak sepenuhnya mampu bertahan sendiri dan membutuhkan sentuhan atau pendampingan dari luar. Banyaknya disinformasi terkait COVID-19 yang beredar, minimnya fasilitas kesehatan, dan stigma terhadap mereka yang melaporkan diri, menjadi masalah yang harus ditindaklanjuti dengan sosialisasi dan komunikasi risiko yang lebih baik lagi.