JAKARTA - Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengatakan, perlu ada pertimbangan sanksi diskualifikasi bagi pasangan calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan saat menjalankan tahapan Pilkada 2020.
Caranya, pemerintah bisa membuat peraturan perundang-undangan mengenai sanksi diskualifikasi. Setelah itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa menyusun aturan teknis mengenai sanksi tersebut.
"Bisa dikeluarkan aturan setingkat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) bahwa pasangan calon yang tidak mematuhi protokol kesehatan akan didiskualifikasi dari peserta pemilu," kata Alwan, Selasa, 8 September.
Kata dia, sanksi diskualifikasi kepada peserta Pilkada 2020 ini bisa menjadi sanksi tegas yang akan membuat paslon berpikir dua kali jika hendak melanggar protokol kesehatan dengan mengumpulkan massa.
Sanksi ini bisa diterapkan pada tahapan pilkada yang kembali berpotensi mengumpulkan massa, yakni tahap kampanye. Dengan begitu, potensi penyebaran COVID-19 bisa ditekan sehingga tidak menjadi klaster penularan baru.
"Cara itu sebagai salah satu titik rem darurat berupa peraturan yang tegas. Mumpung hari ini masih pendaftaran, belum penetapan, ini yang kita dorong," ucap Alwan.
Menurut Alwan, opsi diskualifikasi menjadi suatu sikap tegas yang paling memungkinkan untuk diterapkan dibandingkan opsi penundaan pemungutan suara Pilkada 2020.
"Kalaupun pilkada mau ditunda kembali, ada kemungkinan peserta pilkada, baik partai politik maupun pasangan calon tetap saja tidak patuh jika sanksinya belum tegas," tutur dia.
Seperti diketahui, selama masa pendaftaran bakal pasangan calon (bapaslon) kepala daerah pada tangga 4 hingga 6 September 2020, tercatat ada 260 dari total 650 bapaslon yang melanggar protokol kesehatan dengan mengadakan arak-arakan atau mengumpulkan massa pendukung.
Sejauh ini, sanksi yang diterapkan oleh Bawaslu adalah adalah saksi administratif berupa teguran tertulis kepada paslon yang melanggar protokol kesehatan.
Kemudian, Bawaslu juga membuka potensi sanksi berupa ancaman pidana. Namun, Bawaslu terlebih dahulu akan melakukan kajian dari tiap pelanggaran yang dilakukan bapaslon Pilkada 2020 untuk menemukan unsur pelanggaran yang lebih berat.
Pengkajiannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yang memiliki dampak pidana.
Selain itu, Kementerian Dalam Negeri juga akan menunda masa pelantikan bagi pemenang pilkada yang digelar 9 Desember bagi paslon yang terbukti melanggar protokol COVID-19.
Penundaan pelantikan diusulkan berlangsung dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Sanksi ini dikenakan kepada paslon yang terbukti berkali-kali melakukan pelanggaran protokol kesehatan kampanye pilkada.